Akademisi UB Sebut Pentingnya Perlindungan Hak Cipta yang Adil

Akademisi UB Sebut Pentingnya Perlindungan Hak Cipta yang Adil

Muhammad Aminudin - detikJatim
Sabtu, 23 Agu 2025 09:05 WIB
Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Dr. Yenny Eta Widyanti.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Dr. Yenny Eta Widyanti. (Foto: Istimewa)
Malang -

Polemik pembayaran royalti musik kembali mencuat di ruang publik. Termasuk sengketa pembayaran hingga miliaran rupiah oleh pelaku usaha yang menimbulkan pro kontra di masyarakat. Terutama soal UMKM yang juga wajib membayar royalti saat memutar musik di ruang publik.

Menanggapi hal itu Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Dr Yenny Eta Widyanti yang telah diakui dalam hal kepakaran di bidang Hak Kekayaan Intelektual menjelaskan mengenai dasar hukum royalti musik di Indonesia.

"Royalti adalah imbalan atas penggunaan ciptaan yang diberikan kepada pencipta atau pemegang hak cipta. Ini telah diatur dalam UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta serta diperjelas melalui PP Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti," jelas Dr. Yenny kepada wartawan, Sabtu (23/8/2025).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurut Yenny, setiap pihak yang memanfaatkan ciptaan musik untuk kepentingan komersial atau memperoleh keuntungan ekonomi (monetize) wajib membayar royalti melalui Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) yang bertugas menghimpun dan mendistribusikan royalti kepada pencipta.

ADVERTISEMENT

Dr Yenny mengakui adanya polemik terkait besaran royalti, terutama bagi usaha dengan jumlah gerai dan kapasitas kursi besar yang dikenakan tarif hingga ratusan ribu rupiah per kursi.

"Bagi usaha mikro, kecil, dan menengah, aturan itu memberikan keringanan. Namun hingga kini, masih belum ada pengaturan tegas mengenai pengecualian bagi usaha yang benar-benar kecil," terangnya.

Hal ini, kata Yenny, perlu menjadi perhatian pemerintah agar mekanisme royalti tidak membebani pelaku usaha kecil sembari tetap memberikan penghargaan yang layak kepada para pencipta lagu.

"Asas kewajaran dan keadilan harus diperhatikan, agar ekonomi rakyat tidak tertekan tetapi hak pencipta tetap terlindungi," imbuhnya.

Lebih jauh Dr Yenny menegaskan bahwa tidak semua musik wajib dikenakan royalti. Hak cipta memiliki jangka waktu perlindungan yaitu seumur hidup pencipta ditambah 70 tahun setelah pencipta meninggal.

Setelah itu, karya musik masuk ke ranah public domain sehingga dapat dimanfaatkan masyarakat tanpa kewajiban royalti. Ia juga mendorong sosialisasi lebih masif mengenai pusat data lagu dan musik serta sistem informasi lagu dan musik yang dikelola LMKN.

Agar pelaku usaha dan masyarakat dapat mengetahui dengan jelas karya mana yang masih dilindungi dan besaran royalti yang berlaku.

"Perlindungan hak cipta hadir sebagai bentuk penghargaan atas karya pencipta. Royalti adalah wujud reward, tetapi tetap harus diatur dengan proporsional dan adil. Hak pencipta dihormati, ekonomi rakyat juga harus tetap tumbuh," pungkasnya.




(dpe/abq)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads