Dari Surabaya hingga Bojonegoro, dari Malang hingga Kediri, semangat membela kemerdekaan terus menyala, menjadi fondasi kuat bagi Republik Indonesia. Setelah proklamasi dikumandangkan pada 17 Agustus 1945, Jawa Timur segera merespons dengan menata pemerintahan.
Namun, fondasi kuat ini tidak muncul begitu saja. Jauh sebelum era kemerdekaan, wilayah ini telah memiliki akar sejarah pemerintahan yang panjang. Berbagai sumber menyebutkan bahwa Jawa Timur yang kita kenal sekarang, dulunya merupakan bagian dari Kerajaan Mataram Kuno.
Wilayah ini menjadi pusat bertemunya berbagai kerajaan besar seperti Medang (937-1017), Kahuripan (1019-1049), Daha-Janggala (1080-1222), Singasari (1222-1292), dan Majapahit (1293-1527).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada abad ke-13, perkembangan baru dalam struktur ketatanegaraan di Jawa Timur mulai terlihat dengan munculnya struktur Nagara (Provinsi). Pada masa Kerajaan Singasari, struktur pemerintahan terdiri dari Pusat (Kraton), Nagara (Provinsi), Watek (Kabupaten), dan Wanau (Desa).
Sementara itu, pada masa Kerajaan Majapahit, struktur pemerintahannya terdiri dari Bhumi (Pusat/Keraton), Negara (Provinsi/Bhantara), Thani/Wanua (Desa/Petinggi), dan Kabuyutan (Dusun/Rama).
Setelah masa kejayaan kerajaan-kerajaan, Jawa Timur memasuki babak baru di bawah kekuasaan kolonial Belanda. Seluruh wilayah pesisir utara Jawa dan Pulau Madura jatuh ke tangan kompeni pada 1742.
Pemerintah Hindia Belanda baru dapat mengambil alih seluruh Jawa Timur setelah Perang Diponegoro pada 1830, dan membentuk entitas administratif bernama Provincie van Oost Java pada 1929, yang struktur dan wilayahnya mirip dengan yang kita kenal saat ini.
Jawa Timur di Awal Kemerdekaan
Sebagai salah satu provinsi penting, Jawa Timur menjadi salah satu dari delapan provinsi pertama yang dibentuk oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 19 Agustus 1945.
Dalam sidang tersebut, PPKI memutuskan pembagian wilayah Indonesia menjadi delapan provinsi, termasuk Jawa Timur, yang masing-masing dipimpin oleh seorang gubernur.
Dilansir laman resmi Disperpusip Jatim, Surabaya menjadi kota pertama di Jawa Timur yang berperan aktif dalam menyusun pemerintahan daerah. Saat itu, R M T A Soerjo ditunjuk sebagai Gubernur Jawa Timur pertama pada 5 September 1945.
Setelah menyelesaikan tugasnya di Bojonegoro, ia tiba di Surabaya pada 12 Oktober 1945. Kedatangannya menandai dimulainya aktivitas resmi Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 6 Tahun 2007, tanggal 12 Oktober kemudian resmi ditetapkan sebagai Hari Jadi Jawa Timur.
Baca juga: Teks Proklamasi dalam Bahasa Jawa dan Madura |
Tantangan dan Perjuangan Mempertahankan Kedaulatan
Setelah proklamasi kemerdekaan, Jawa Timur menghadapi tantangan besar. Di satu sisi, pemerintah daerah harus segera membentuk sistem pemerintahan, sementara di sisi lain, mereka juga harus menghadapi tentara Jepang yang belum menyerah, serta kedatangan pasukan Sekutu yang membawa kembali Belanda.
Ketegangan meningkat ketika pasukan Inggris mendarat di Surabaya pada September 1945. Serangan besar-besaran yang terjadi pada November, mendorong Pemprov Jawa Timur untuk memindahkan pusat pemerintahan ke Mojokerto, lalu ke Kediri pada 17 November 1945, dan selanjutnya ke Malang pada Februari 1947.
Situasi semakin memanas dengan dimulainya Agresi Militer Belanda I pada Juli 1947. Belanda berhasil menduduki sejumlah kota penting di Jawa Timur dan mendirikan negara boneka untuk memecah belah Republik Indonesia. Aksi Militer II Belanda pada Desember 1948 semakin memperparah keadaan.
Kota Blitar, tempat pemerintahan provinsi saat itu, diserbu pada 21 Desember. Gubernur Moerdjani dan beberapa pejabat terpaksa mengungsi dan bergerilya di lereng Gunung Wilis. Namun, perjuangan tidak berhenti. Wakil Gubernur Samadikun bersama Bupati Darmadi melanjutkan perlawanan dari wilayah Blitar Selatan.
Setelah perjuangan panjang, Belanda akhirnya menyepakati Perjanjian Roem-Royen pada 7 Mei 1949. Proses pengalihan kekuasaan kepada Republik Indonesia Serikat pun berlangsung.
Kota demi kota, seperti Madiun, Bojonegoro, dan Kediri, dikembalikan ke tangan Republik. Masa ini menandai dimulainya kembali pemerintahan sipil yang stabil dan berdaulat di Jawa Timur, setelah melalui berbagai gejolak militer dan politik sejak awal pembentukannya.
(auh/irb)