2 Dokter UB Bawa Pulang Sederet Kisah Getir Usai Tiga Pekan di Gaza

2 Dokter UB Bawa Pulang Sederet Kisah Getir Usai Tiga Pekan di Gaza

Muhammad Aminudin - detikJatim
Rabu, 06 Agu 2025 13:25 WIB
Dokter UB Malang saat di Gaza
Dokter UB Malang saat di Gaza/Foto: Istimewa
Malang -

Setelah hampir tiga pekan menjalankan misi kemanusiaan di Gaza, Palestina, dua dokter dari Universitas Brawijaya (UB) kembali ke Indonesia. Kepulangan mereka juga membawa lebih dari sekadar pengalaman medis.

Mereka adalah Dr. dr. Mohammad Kuntadi Syamsul Hidayat, M.Kes., MMR., Sp.OT, dan Dr. dr. Ristiawan Muji Laksono, Sp.An-TI, Subsp.M.N.(K), FIPP.

Dosen Fakultas Kedokteran UB yang tergabung dalam tim relawan bersama Bulan Sabit Merah Indonesia (BSMI), berkoneksi dengan Rahmah Worldwide.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Keduanya menyaksikan langsung realitas getir yang membalut tanah Palestina seperti kelaparan, kehancuran, trauma, juga ketegaran.

Dokter UB Malang saat di GazaDokter UB Malang saat di Gaza Foto: Istimewa

ADVERTISEMENT

Selama di Gaza, keduanya bertugas di Rumah Sakit An-Nasr dan Rumah Sakit Eropa, dua fasilitas medis yang masih beroperasi di tengah krisis kemanusiaan.

Kepulangan mereka bukan sekadar kembalinya dua dosen. Melainkan pulangnya dua representasi nilai kemanusiaan dan keberpihakan ilmu pengetahuan terhadap kehidupan.

Keberangkatan Dr. Kuntadi dan Dr. Ristiawan ke Gaza didorong oleh kesadaran mendalam akan tanggung jawab moral sebagai tenaga medis.

Mereka meyakini bahwa jika seseorang memiliki keahlian untuk menolong, maka diam bukanlah pilihan.

"Karena sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain. Di Gaza, bahkan jika tidak bisa membantu secara medis, kehadiran pun bisa saja menjadi penghibur bagi mereka yang kehilangan," terang Dr Mohammad Kuntadi dalam keterangannya, Rabu (6/8/2025).

Pengalaman di Gaza ini menjadi titik emosional bagi Dr. Kuntadi, ia mengungkapkan bahwa selama hampir 40 tahun menjadi dokter, belum pernah ia menyaksikan kondisi yang ia lihat di sana.

Anak-anak kecil tergeletak di lantai, tubuh mereka dipenuhi darah, bernapas tersengal-sengal tanpa perawatan layak, sementara asupan gizi nyaris tidak ada, karena tubuh mereka kekurangan protein.

Dalam situasi serba terbatas itu, warga Gaza tetap bertahan dengan apa pun yang mereka punya. Salah satu momen paling membekas baginya, adalah saat ia menangani seorang anak perempuan yang belum genap dua tahun, terkena peluru dan bersimbah darah.

Selengkapnya di halaman selanjutnya!

Dr. Ristiawan turut menggambarkan kondisi rumah sakit di Gaza dengan penuh keprihatinan. Kapasitas ruang perawatan melonjak drastis hingga 250 persen dari kondisi normal. Bangunan fasilitas kesehatan banyak yang rusak, termasuk blok hemodialisis yang hancur akibat serangan bom.

Akibatnya, pasien terpaksa dirawat di tenda-tenda darurat yang didirikan di sekitar rumah sakit. Dalam keterbatasan alat dan minimnya pasokan medis, mereka hanya menggunakan obat dan bius jenis lama yang tersedia.

"Obat kurang, air bersih terbatas, fasilitas rusak, dan risiko keamanan tinggi. Standar medis yang biasa kami jalankan tak bisa diterapkan sepenuhnya. Banyak prosedur harus dilakukan dengan alat seadanya, bahkan menggunakan obat-obatan lama yang sudah jarang dipakai, tentu ini menjadi tantangannya," ujar Dr. Ristiawan terpisah.

Bukan tanpa risiko, karena suara dentuman bom dan kepulan asap menjadi latar yang terus mengiringi setiap langkah.

Namun, tekad untuk hadir sebagai manusia bagi manusia lain membuat mereka tetap bertahan dan melanjutkan misi. Kondisi paling mencolok bukan hanya luka fisik akibat perang, tapi kelaparan masif. Bahkan, tenaga medis di rumah sakit pun pingsan karena tidak makan selama dua hari.

"Seorang dokter spesialis sampai harus diinfus. Anaknya menangis semalaman karena lapar. Dan kami tak tega makan sendiri. Bahkan pernah satu permen kopiko kami bagi ke dokter di sana. Mereka menerimanya dengan penuh syukur," ujar Dr. Ristiawan.

Sebagai dokter yang terbiasa menghadapi situasi darurat, Dr. Kuntadi mengakui bahwa pengalaman di sana menggetarkan batinnya.

"Hingga semalam saya tiba-tiba menangis. Teringat kami cuma dua minggu. Tapi, mereka di sana bertahun-tahun, tenaga medis pun tetap bekerja walau situasi dan makan sulit," tuturnya.

Salah satu momen yang masih teringat juga disampaikan oleh Dr. Ristiawan, ketika dalam perjalanan mereka melihat kerumunan warga sipil kurus, lemah, keluar dari lorong bangunan lalu meminta makanan di pinggir jalan.

"Mereka lapar, tapi tidak kasar," ujar Dr. Ristiawan.

Selain penjemputan dan pemulangan, selama dua minggu di sana mereka tidak pernah keluar dari rumah sakit, karena ancaman sniper yang bisa menembak kapan saja.

Mengambil foto atau membuka ponsel pun sangat berisiko. Mereka harus berhati-hati bahkan dalam menyebut nama organisasi. Semua aktivitas diawasi ketat dan dikawal oleh militer, membuat mereka harus menyesuaikan diri sepenuhnya dengan situasi yang serba dibatasi.

Menurut Dr. Kuntadi, Perjalanan ke Gaza ini bukanlah keputusan mendadak, melainkan rezeki yang dikabulkan. Keinginan untuk terlibat dalam misi kemanusiaan ini telah menjadi bagian dari niat dan tekad yang terus disimpan.

Dokter UB Malang saat di GazaDokter UB Malang saat di Gaza Foto: Istimewa

Ketika kesempatan itu datang, ia menerimanya tanpa ragu, dengan keyakinan bahwa ini adalah panggilan yang sudah dipersiapkan sejak lama.

"Kematian sudah ditentukan. Kenapa harus takut? Takdir kita sudah tertulis sebelum lahir, jadi saya menerima tawaran ini bahkan sebelum izin ke keluarga," ujar Dr. Kuntadi.

Keduanya turut mengajak masyarakat untuk tidak menutup mata terhadap kondisi Palestina. Dr. Kuntadi dan Dr. Ristiawan menekankan bahwa bantuan tidak selalu harus berupa materi atau keahlian.

Seperti diberitakan, Universitas Brawijaya (UB) memberangkatkan dua tenaga medis dalam misi kemanusiaan ke Gaza, Palestina. Mereka adalah Dr. dr. Ristiawan Muji Laksono, Sp.An-TI, Subsp. M.N.(K), FIPP dan Dr. dr. Mohammad Kuntadi Syamsul Hidayat, M. Kes MMR, Sp OT.

Pemberangkatan kedua dokter dari Fakultas Kedokteran UB tersebut bekerja sama dengan sejumlah organisasi, yakni Bulan Sabit Merah Indonesia (BSMI) dan Rahmah World Wide.

Keduanya akan menjadi relawan selama kurang lebih 2 minggu di Rumah Sakit An-Nasr dan Rumah Sakit Eropa di Gaza bersama dengan 4 orang dokter relawan lain dari BSMI.

Halaman 2 dari 2


Simak Video "Video: Momen Warga Gaza Lari dari Tembakan Israel saat Antre Bantuan"
[Gambas:Video 20detik]
(mua/hil)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads