Gabungan Pengusaha Korban Lumpur Lapindo (GPKLL) kembali menyuarakan harapannya. Setelah 19 tahun menanti kejelasan, 32 pengusaha yang tergabung dalam GPKLL meminta Presiden terpilih Prabowo Subianto turun tangan menyelesaikan ganti rugi yang belum kunjung mereka terima.
Joni, perwakilan GPKLL menyampaikan bahwa sejak 2006, mereka belum mendapatkan kompensasi atas aset dan lahan yang digunakan untuk menangani semburan lumpur di Porong, Sidoarjo.
Tanah dan aset perusahaan miliknya dan puluhan pengusaha lainnya dipinjamkan untuk membuat tanggul darurat saat semburan mulai meluber mengancam rel kereta api dan jalan Raya Porong lama.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Waktu itu Pak Basuki, yang sekarang dikenal pernah menjabat Menteri PUPR, yang pertama kali meminjam tanah kami, untuk membendung lumpur. Karena keadaan darurat, kami izinkan. Tapi sampai sekarang, ganti rugi belum dibayar," ujar Joni kepada detikJatim, Rabu (28/5/2025).
Menurut Joni, total lahan miliknya yang digunakan lebih dari 7 hektare, dengan estimasi nilai ganti rugi mencapai Rp 80 miliar. Upaya hukum telah ditempuh, mulai dari DPRD tingkat kabupaten hingga pusat, Mahkamah Konstitusi, PTUN, Mahkamah Agung, hingga Ombudsman. Namun, semuanya belum membuahkan hasil.
"Kami sudah menang di MK lewat Putusan No. 83/PUU-XI/2013 yang menjamin pelunasan ganti rugi tanpa dikotomi. Tapi pemerintah seperti tutup mata," tambah Joni.
GPKLL juga menyebut bahwa PT Lapindo Brantas selaku pihak terkait telah enam tahun menunggak utang dan tak kunjung menyelesaikan kewajibannya. Hal ini, menurut Joni, seharusnya jadi alasan kuat agar negara mengambil alih proses penyelesaian ganti rugi kepada para korban.
"Mau sampai kapan kami dibiarkan? Negara justru pakai tanah itu untuk buat tanggul dan menyelamatkan infrastruktur seperti rel dan jalan nasional. Tapi korban seperti kami tidak ada kejelasan. Kami sangat berharap Pak Prabowo bisa menepati janji membela rakyat yang tertindas," kata Joni penuh harap.
GPKLL berharap Presiden Prabowo segera merevisi Perpres No. 21 Tahun 2017 agar pemerintah bisa turun langsung menyelesaikan persoalan ganti rugi yang sudah belasan tahun terbengkalai.
"Ini bukan soal pengusaha atau warga biasa. Ini soal keadilan. Jangan ada dikotomi, itu bertentangan dengan UUD 1945," tegas Joni.
(auh/hil)