Siapa sangka, eceng gondok yang selama ini dikenal sebagai gulma pengganggu aliran sungai, ternyata bisa menjadi bahan utama dalam sebuah gerakan ramah lingkungan yang inspiratif. Komunitas Peduli Sungai Surabaya (PSS) menginisiasi workshop daur ulang kertas dari eceng gondok pada 26 April 2025.
Kegiatan ini bertujuan mengedukasi masyarakat tentang pentingnya menjaga ekosistem sungai sekaligus mengubah limbah menjadi produk bernilai dan berkelanjutan. Manajer Eksekutif PSS Nurul Khotimah menyebutkan, eceng gondok merupakan sampah organik yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku alternatif produk daur ulang.
"Salah satu pengurus PSS itu anak teknik lingkungan, dia sering melakukan project-project daur ulang, termasuk salah satunya eceng gondok. Jadi, menurut kami 'wah', kenapa ini nggak coba ditularkan ke teman-teman yang memang berminat pada isu lingkungan. Jadi, latar belakangnya ada dua itu sih, terkait eceng gondok sendiri, dan kami menyebarkan pengetahuan karena kebetulan ada pengurus PSS yang bisa melakukan itu," jelas Nurul.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
Dalam workshop tersebut, peserta menggunakan batang eceng gondok yang sudah dikeringkan selama dua hari hingga warnanya kecokelatan. Setelah itu, eceng gondok dipotong kecil-kecil, dicuci bersih, dan direbus dengan api kecil selama setengah jam hingga menjadi lembut.
Selanjutnya, eceng gondok dihaluskan menggunakan blender atau chopper hingga menyerupai bubur. Pada tahapan berikutnya, kertas bekas disobek kecil-kecil, direndam dalam air, dan kemudian dihaluskan. Bubur kertas dan bubur eceng gondok disatukan dalam satu wadah, lalu ditambahkan lem PVA sambil diaduk hingga merata.
Adonan bubur ini kemudian disaring menggunakan cetakan sablon dan dipanaskan dalam oven selama 15-20 menit dengan api kecil. Proses ini cukup menantang karena ketebalan adonan harus dijaga agar tidak terlalu tebal atau terlalu tipis.
Setelah kering, kertas hasil daur ulang bisa diambil perlahan dan dihias menggunakan peralatan seperti spidol warna, benang sulam, kertas lipat, hingga bunga kering. Seluruh peserta terlihat antusias mengkreasikan kertas eceng gondok mereka.
Nurul menekankan pentingnya membangun kesadaran untuk mengelola sampah, terutama di tengah tren konsumsi cepat saat ini. Hal ini mengingat di era fast fashion, tren cepat berubah dan gaya hidup konsumtif meningkat, sehingga produk-produk sekali pakai juga intensitasnya tinggi.
"Nah, oleh karena itu, kami berharap teman-teman juga bertanggung jawab atas sampahnya, salah satu metodenya dengan cara recycling. Kalau kita nggak tahu metodenya, maka kita bisa coba cari atau riset. Di PSS sendiri selain kertas, kita juga akan mencoba nih dari tutup botol jadi akrilik, jadi tatakan gelas dan lain-lain," ucap Nurul.
Ia pun menegaskan bahwa memilah sampah dan melakukan daur ulang adalah langkah sederhana, namun penting untuk menjaga kelestarian lingkungan. Komunitas Peduli Sungai Surabaya sendiri telah berdiri sejak 2017.
Kehadiran komunitas ini berawal dari keprihatinan terhadap kondisi perairan di Surabaya yang cukup memprihatinkan. Namun, PSS tidak hanya berfokus pada kegiatan 'bersih-bersih', melainkan lebih mengutamakan edukasi.
Manajer media sosial PSS Vianti Candra mengatakan, tugas utama komunitas ini adalah menumbuhkan kepedulian masyarakat terhadap lingkungan sekitar. Ia mengakui bahwa menjalankan misi edukasi tidak selalu mudah. Tak jarang, niat baik komunitas justru disalahpahami atau bahkan ditolak.
"Kami lebih fokusnya itu ke edukasi. Biasanya ada juga kita membuka green heroes. Itu targetnya anak-anak SMA atau mahasiswa. Jadi mereka dilatih, dikasih ilmunya dulu untuk bisa disebarluaskan," ujar Vianti.
"Sekarang kita fokus mengedukasi anak-anak muda, karena kan generasi penerus ya. Kalau misalkan generasi yang tua sudah agak susah, ya mungkin kita bisa menyasar ke anak-anak muda atau anak sekolah," lanjutnya.
Vianti menambahkan, menjaga kelestarian lingkungan tidak selalu memerlukan upaya besar. Hal-hal sederhana yang dilakukan secara konsisten dapat memberikan dampak nyata.
"Kita juga ada slogan 'Bijak Nyampah' karena kita sebagai manusia nggak mungkin buat nggak nyampah. Jadi pilihannya itu ya kita harus bijak menghasilkan sampah kita, nggak mungkin yang benar-benar zero waste, jadi seminimal mungkin," tutup Vianti.
(ihc/irb)