Di tengah hingar-bingar kehidupan kota metropolitan yang bergerak begitu cepat, ada anak-anak yang tumbuh menggantungkan nasib tanpa bimbingan orang tua dan jauh dari akses pendidikan. Hidup di tengah ketidakpastian, mereka berusaha menjaga semangat tidak padam, senyuman lebar menjadi perisai menghadapi kerasnya realita kehidupan.
Berangkat dari keresahan atas rintangan hidup di kota besar yang kerap diabaikan, Save Street Child Surabaya hadir sebagai komunitas yang merangkul anak-anak terpinggirkan, yang tak memiliki banyak pilihan selain menggenggam erat mimpi-mimpinya.
Awal kemunculan komunitas ini dipicu trending tagar #savestreetchild di media sosial, menandakan isu anak jalanan menjadi masalah serius yang perlu segera ditangani. Gerakan "save street child" mengajak masyarakat lebih peka dan peduli terhadap anak jalanan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Save Street Child pertama kali terbentuk di Jakarta pada bulan Mei. Hanya berselang satu minggu, Save Street Child Surabaya lahir pada 5 Juni 2011. Ketua Save Street Child Surabaya Advin Mariyono menegaskan tujuan komunitas ini adalah memperjuangkan hak-hak anak untuk berkembang dan mendapatkan pendidikan layak.
"Jadi, harapan kami di sini adalah bagaimana anak ini merasa haknya itu sama, aku berhak untuk bermimpi, aku bisa berubah, dan sebagainya, gitu sih. Jadi, kalau dibilang kami bantu secara ekonomi, mungkin itu bukan hal yang mudah bagi kami, tapi kami di sini menggerakkan masyarakat untuk sama-sama mengembalikan hak anak," ujar Advin.
Save Street Child Surabaya memiliki sejumlah program kegiatan yang dilaksanakan secara rutin dengan mengedepankan berbagai aspek penting. Dari segi kesehatan, ada program Jumat Sehat yang meliputi pembagian susu serta bingkisan, diikuti dengan permainan yang menyenangkan.
Dari aspek pendidikan, ada program Minggu Belajar. Dari sisi keterampilan, ada kelas minat bakat seperti tari, mewarnai, hingga komputer. Komunitas ini menjalankan program beasiswa sejak 2013 dengan dukungan donatur tetap. Setiap tahun, kuota beasiswa dibuka untuk maksimal 30 anak, membantu mengatasi angka putus sekolah.
Pada awalnya, komunitas ini fokus membantu anak-anak jalanan seperti pengamen, pengemis, atau pedagang di lampu merah. Namun, seiring berjalannya waktu dan adanya penertiban, Save Street Child menggunakan metode survei untuk menemukan anak-anak yang masih membutuhkan bantuan.
"Sekarang kami ada di beberapa lokasi di area perkampungan dan menyasar ke anak-anak marginal. Anak-anak yang tinggal di daerah rel kereta, bantaran sungai. Nah, itu biasanya kami tahunya dari laporan volunteer, terus kita coba survei dan pendekatan ke warga sekitar," jelas Advin.
Save Street Child Surabaya telah hadir selama 14 tahun, bertahan melewati berbagai ujian. Salah satu hal yang membuat komunitas ini tetap berdiri adalah melihat perubahan nyata dari anak-anak yang pernah mereka dampingi.
"Itu bisa dilihat dari beberapa anak yang dulu bergabung dengan kami, mereka sudah kerja. Hal-hal seperti itu yang akhirnya membuat kami percaya bahwa ini lho bisa berubah anak-anak yang mendapatkan program beasiswa," ungkap Advin.
Meski demikian, Advin mengakui bahwa tantangan terbesar adalah menjaga kestabilan finansial untuk kebutuhan operasional serta mempertahankan semangat para relawan. Advin berharap ke depan semakin banyak generasi muda yang peka terhadap isu anak-anak jalanan, dan berkontribusi dalam menciptakan lingkungan yang lebih baik bagi anak-anak.
"Harapannya semakin banyak orang yang mau berbagi, dan juga dalam hal ini teman-teman di luar juga paham tentang hak anak, jadi perlakuan ke anak itu biar sama, bagaimana kita membentuk lingkungan yang baik untuk anak," tutup Advin.
(ihc/irb)