Chusnul Chotimah (54), penyintas Bom Bali I telah menempuh berbagai upaya menagih utang Rp 77,5 juta dari VN (54). Upaya terakhirnya nekat menempuh perjalanan 700 km Sidoarjo-Purwakarta naik motor demi mengetuk hati VN agar membayar utang berujung hampa.
Chusnul berangkat ke Purwakarta naik motor bersama puteranya yang didiagnosis sakit kronis tak bisa disembuhkan Von Willebrand pada 29 Desember 2024. Dia datangi rumah VN sejak 31 Desember hingga 4 Januari 2025. Tapi VN selalu tak di rumah.
"Kesalahan saya mungkin beri tahu kalau saya ke Purwakarta jadi dia nggak ada. Lalu saya bikin story akan pulang. Hari Minggu (5/1) pas mau balik lewat jalan rumahnya, ternyata dia ada," ujar Chusnul kepada detikJatim.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Didampingi Babinsa setempat, Chusnul berupaya membujuk agar VN, yang pernah berjanji mengembalikan uang yang dipinjam 1 bulan setelah berhasil menjual rumahnya pada 2021, mau membayar. Tapi dia VN justru mengungkit soal utang budi.
"Saya malah dibilang punya utang budi ke dia. Tetap nggak mau bayar karena ngaku kekurangan. Padahal kalau saya lihat enggak ada kekurangan. Janjinya setelah jual rumah, ternyata sertifikat rumahnya sudah nggak ada (diduga sudah terjual)," kata Chusnul.
Chusnul yang kehabisan uang saku dan biaya untuk BBM motor akhirnya pulang dengan tangan hampa usai dapat bantuan biaya dari Polres Purwakarta. Selama di Purwakarta Chusnul yang menyambung hidup berjualan sayur tidak bisa bekerja.
"Akhirnya saya pulang karena percuma di sana gak dapat apa-apa. Saya juga nggak dapat penghasilan karena selama perjalanan total kurang lebih satu minggu nggak bisa jualan," ungkap Chusnul.
Setelah upaya terakhirnya itulah Chusnul makin putus asa dengan upayanya menagih uang kompensasi korban bom dari LPSK pada 2020 yang sempat dia tabung untuk biaya pendidikan bagi puteranya MF (18).
Saat meminjamkan uang itu kepada VN, dia berniat tulus membantu teman seperjuangan yang saat itu mengaku sedang sakit dan butuh biaya berobat. Saat itu, dia merasa iba dan trenyuh karena merasa pernah mengalami masa sulit seperti yang diklaim dialami VN.
"Pinjaman itu sebenarnya uang yang saya dapat dari kompensasi di tahun 2020. Awal Januari 2021 dia pinjam uang saya bilang nggak ada, di bulan Februari akhirnya saya kasih pinjam nominal pertama Rp 50 juta," katanya.
Kini Chusnul menganggap bahwa semua alasan yang disampaikan VN baik saat meminjam uang dengan alasan sakit dan seluruh janji-janjinya termasuk soal menjual rumah itu sebagai kebohongan belaka. Dia merasa ditipu oleh rekannya sesama penyintas bom.
Tapi Chusnul heran, meski dirinya punya surat pernyataan kesanggupan membayar yang telah ditandatangani VN di atas meterai, upayanya mengajukan laporan polisi hingga gugatan ke pengadilan disebut tak bisa ditangani, bahkan sempat ditolak.
"Saya bingung negara ini kok kayak gini. Karena saya orang miskin jadi yang lain menang terus," katanya.
Chusnul yang kebingungan mencari cara lain untuk menagih utang juga bingung bagaimana mendapatkan uang untuk biaya kemoterapi ketiga putranya yang dijadwalkan 13 Januari 2025 senilai Rp 14 juta.
Tekanan ekonomi Chusnul sebagai orang tua tunggal yang ditinggal mati suami gegara ditembak BNN pada 2017 itulah yang sempat membuat Chusnul berpikir untuk bersurat kepada pemerintah agar disuntik mati saja bersama anaknya.
"Sampai nggak kuat rasanya. Saya ingin buat surat, minta suntik mati ke negara untuk saya dan anak saya. Sebab saya juga nggak tega lihat anak saya sakit terus seperti ini," kata Chusnul.
Chusnul adalah penyintas Bom Bali I di Jalan Legian, Kuta, Bali pada 2002. Dia menjadi salah satu korban ledakan bom mobil yang membuat sekujur tubuhnya luka bakar 60% dan masih ada serpihan logam di tubuhnya.
"Sampai sekarang saya sendiri masih rutin kontrol ke dokter. Biasanya ke orthopaedi, kulit, gigi, dan syaraf. Kadang saya tiba-tiba susah jalan dan beberapa bagian tubuh rasanya sangat sensitif. Masih ada sisa logam di kaki dan dada," katanya.
(dpe/fat)