Penjabat Gubernur Jatim, Adhy Karyono akan menguatkan sektor pendidikan pesantren di Jawa Timur. Langkah ini dilakukannya untuk terus meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) menyongsong Indonesia Emas 2045.
Merespons hal ini, Pengamat Pendidikan Isa Anshori menjelaskan, memang sejarah pendidikan tidak dimulai dari sekolah formal, tetapi sekolah dengan basis suro-suro yang kemudian menjadi pesantren.
Ia menegaskan, pendidikan pesantren bicara pada kemandirian. Bahwa, santri-santriwati yang telah mengemban pendidikan di pesantren, harus menghidupi diri sendiri serta bertanggung jawab kepada dirinya masing-masing.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Bicara SDM, penguatan maka di sana (pesantren) kita dapat tanggung jawab, kemandirian. Di sana juga ada keuletan, bagaimana mereka bisa bertahan dengan situasi jauh dari orang tua dan lingkungan baru," kata Isa Anshori ketika dikonfirmasi detikJatim, Rabu (13/11/2024).
Pendidikan pesantren, harus disesuaikan dengan para santri, yang mana kemampuan beradaptasi juga diuji. Ke depan, Isa mengatakan Indonesia membutuhkan orang-orang yang mandiri serta menjadi pemimpin, bagaimana dalam pesantren diajarkan memimpin dan dipimpin.
"Di pesantren kan dibagi ada kamar-kamar, jadi dijadikan satu misalnya satu kamar 5 orang bahkan lebih. Bagaimana mereka nanti bisa berbagi, ada semacam empati, solidaritas, kemampuan bergotong royong satu sama lain," urainya.
"Saya rasa, apa yang dikatakan pak Pj (Adhy Karyono) sudah tepat. Sehingga berbicara penguatan SDM maka bagaimana kita mengadopsi apa yang ada di pesantren untuk pendidikan formal itu. Di lain sisi, adanya kurikulum merdeka menjadi anak susah diatur, isunya kan begitu. Nah, dalam rangka mengantisipasi ini sudah saatnya sekolah formal kita mengadopsi sistem pesantren," sambungnya.
Pun begitu, di sekolah formal bisa menerapkan bagaimana untuk memberikan tanggung jawab dan solidaritas. Selain itu, kemampuan guru juga diperlukan untuk mengetahui seperti apa kemauan siswa. Seperti kebutuhan, latar belakang sosial dan lain sebagainya.
Jika memang pendekatan tersebut tepat, tentu sistem yang ada di pesantren bisa diadopsi di sekolah formal.
"Asalah pisau dari sisi tajamnya, jangan sisi tumpul. Anak-anak itu unik punya potensi masing-masing. Guru tugasnya adalah mencari potensi ketajaman di mana, itu yang harus diasah sehingga anak-anak bisa cemerlang. Sejarah pun membuktikan, tidak hanya harus pintar untuk bisa sukses. Itu PR guru, mencari sisi tajam itu akan bisa meningkatkan kualitas SDM," pungkasnya.
Sebelumnya diberitakan, Pemerintah Provinsi Jawa Timur (Pemprov Jatim) terus meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) untuk mendukung Indonesia Emas 2045.
Salah satu langkah konkret adalah penguatan pendidikan pesantren, dengan lebih dari 6.600 pesantren di Jatim. Pj Gubernur Jatim, Adhy Karyono, menekankan pentingnya program Bantuan Operasional Sekolah Daerah (Bosda Madin) untuk mendukung pendidikan diniyah di pesantren.
Sejak 2019, Pemprov Jatim telah mengalokasikan lebih dari Rp 1 triliun untuk program ini, termasuk anggaran Rp 200,4 miliar di 2024 untuk 38 kabupaten/kota. Program ini menyasar santri, guru, serta siswa Madrasah Diniyah dan Pondok Pesantren. Bosda Madin juga membantu meringankan biaya pendidikan bagi keluarga miskin.
Pemprov Jatim juga memperhatikan kesejahteraan guru dengan alokasi Rp 19,3 miliar per tahun untuk honorarium guru non-PNS. Selain itu, Pemprov Jatim memberikan beasiswa S1, S2, dan S3 bagi 5.683 santri dan guru madrasah diniyah, termasuk 123 mahasiswa yang diberangkatkan ke Universitas Al Azhar Mesir.
Selain itu, Pemprov Jatim mengalokasikan Rp 157,1 miliar untuk pembangunan infrastruktur pendidikan dan Rp 5 miliar untuk program Pendidikan Kesetaraan Vokasi di kabupaten dengan IPM rendah.
(irb/hil)