Saran Pakar soal Kurikulum Kesetaraan Gender di Semua Tingkat Pendidikan

Saran Pakar soal Kurikulum Kesetaraan Gender di Semua Tingkat Pendidikan

Sri Rahayu - detikJatim
Jumat, 18 Okt 2024 05:30 WIB
kesetaraan gender
Ilustrasi kesetaraan gender/Foto: Ilustrasi: Edi Wahyono
Surabaya -

Di tengah peningkatan partisipasi perempuan dalam pendidikan formal, ada hal mendesak yang perlu diperhatikan oleh pemerintah, yaitu memastikan kurikulum pendidikan di semua tingkatan bersifat responsif gender.

Ketua Pusat Studi Gender Universitas Jember, Dr. Linda Dwi Eriyanti mengatakan, sistem pendidikan saat ini masih belum adil terhadap perempuan.

Linda menjelaskan, meskipun pendidikan formal penting, kurikulum yang diajarkan di Indonesia belum sepenuhnya mendukung kesetaraan gender. Dirinya menyampaikan, dengan adanya pendidikan yang berprinsip pada kesetaraan, dapat memastikan perempuan dan laki-laki mendapatkan akses, partisipasi, dan manfaat yang setara.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kurikulum pendidikan di semua tingkatan harus berprinsip pada kesetaraan gender, karena hanya dengan cara itu kita bisa memastikan perempuan dan laki-laki mendapatkan akses, partisipasi, dan manfaat yang sama," ucap Linda saat dikonfirmasi detikJatim, Kamis (17/10/2024).

Ia juga menekankan pentingnya perangkat pendukung pendidikan yang harus responsif gender, mulai dari pembuat kebijakan di tingkat pusat hingga para guru di sekolah-sekolah. Menurutnya, pendidikan tidak hanya soal materi ajar, tetapi juga bagaimana sistem pendidikannya diterapkan secara menyeluruh.

ADVERTISEMENT

"Tenaga pengajar dan pengambil kebijakan harus responsif gender, karena mereka yang bersentuhan langsung dengan para siswa," ujar Ketua Pusat Studi Gender Universitas Jember itu.

Tak hanya itu, Linda juga menyoroti sarana dan prasarana di sekolah-sekolah yang menurutnya belum sepenuhnya inklusif bagi perempuan. Ia berpendapat, lingkungan belajar yang tidak responsif gender akan menghambat partisipasi dan perkembangan siswa perempuan.

"Sarana dan prasarana pendidikan harus didesain agar perempuan dan laki-laki bisa belajar dengan nyaman dan setara," imbuhnya.

Di sisi lain, pendidikan nonformal juga tak luput dari sorotan. Linda mengkritik bahwa program pemberdayaan perempuan yang diselenggarakan oleh pemerintah sering kali hanya terfokus pada peran domestik perempuan.

"Pendidikan nonformal masih sering menjebak perempuan dalam peran-peran tradisional seperti memasak, menjahit, dan merias. Ini semakin mempersempit peluang perempuan untuk berkembang di ranah publik," tuturnya.

Linda berharap, agar kurikulum yang diajarkan di sekolah-sekolah dan program pemberdayaan nonformal dapat menciptakan perempuan yang mampu berperan di berbagai bidang, bukan hanya terbatas pada ranah domestik.

"Potensi perempuan itu besar, kita harus memfasilitasi mereka agar bisa mengembangkan diri secara maksimal," pungkasnya.




(hil/iwd)


Hide Ads