Viral Parenting VOC di TikTok, Apa Dampaknya pada Anak?

Viral Parenting VOC di TikTok, Apa Dampaknya pada Anak?

Sri Rahayu - detikJatim
Rabu, 25 Sep 2024 14:55 WIB
Beautiful mother is comforting her sad little daughter at home. Family relationships.
Ilustrasi ibu dan anak. Foto: iStock
Surabaya -

Pola asuh atau parenting VOC sedang ramai diperbincangkan hingga menuai pro dan kontra. Parenting VOC adalah gaya pengasuhan yang menerapkan kedisiplinan, aturan ketat, dan cenderung otoriter. Lantas, bagaimana dampak parenting VOC pada anak?

Istilah ini pertama kali viral di TikTok dan diperkenalkan beberapa akun, salah satunya konten kreator @Akulah yang membahas mengenai Parenting VOC vc MakMak Batak. Konten ini dengan cepat menarik perhatian publik dan mengundang beragam reaksi.

Dalam konteks ini, istilah VOC tidak merujuk pada Vereenigde Oostindische Compagnie (Perusahaan Hindia Timur Belanda), yang berperan dalam sejarah kolonialisme. Melainkan digunakan sebagai metafora untuk pola asuh yang dianggap keras, disiplin, dan otoriter.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Gaya parenting ini diyakini mengacu pada pola asuh yang berorientasi pada kontrol dan ketaatan ketat, serta mengutamakan hasil daripada proses atau empati terhadap anak. Banyak pengguna media sosial yang mendukung model ini karena dianggap mampu membentuk anak-anak yang tangguh dan disiplin.

Namun, ada juga yang mengkritiknya karena dinilai terlalu keras dan kurang memberikan ruang bagi anak untuk berkembang secara emosional dan kreatif. Ada juga yang beranggapan bahwa pola asuh ini akan membuat cacat mental pada anak.

ADVERTISEMENT

Pro dan Kontra Pola Asuh VOC

Bagi pendukungnya, pola asuh VOC dinilai sebagai solusi atas tantangan zaman modern, di mana disiplin dianggap sebagai kunci untuk sukses di masa depan. Mereka percaya bahwa generasi muda perlu dibentuk dengan struktur yang kuat, agar tidak mudah terjebak dalam gaya hidup serba instan dan mudah menyerah.

Beberapa orang tua melihat pendekatan ini sebagai cara untuk menanamkan nilai-nilai seperti tanggung jawab, ketekunan, dan kerja keras sejak dini. Namun, di sisi lain, kritik keras juga muncul terkait dampaknya pada perkembangan anak.

Psikolog anak berpendapat bahwa pola asuh VOC berpotensi menimbulkan dampak negatif pada perkembangan emosional anak. Senada dengan yang diungkapkan dr Rani Effendi dalam unggahan TikTok, yang menyebut ada beberapa dampak positif dan negatif dari pola asuh ini.

"Menurut aku, parenting ala-ala VOC, ala-ala militer zaman dulu. Mungkin tidak bisa diterapkan di zaman sekarang, yang di mana posisi ekonominya itu beda dengan keadaan ekonomi sekarang. Apalagi zaman sekarang masuk era media sosial, di mana dengan pengetahuan parenting yang lebih bagus, yang lebih maju ada banyak banget," ungkap dr Rani seperti yang dilihat detikJatim.

Menjawab berbagai komentar tentang pola asuh VOC, akun TikTok @Mamak Malvin, kreator yang menerapkan pola asuh ini, menyebut dirinya tidak pernah mengatakan pola asuh tersebut benar. Namun, ia mengaku terbantu dengan adanya pola asuh tersebut.

Menurutnya, pola asuh ini dapat membantu ibu-ibu yang sedang menghadapi anak-anaknya yang mulai aktif dan membuat keributan di rumah, agar sebagai ibu tetap bisa menjaga kewarasan. Dengan adanya pola asuh ini, katanya, anak jadi lebih penurut, disiplin, mandiri, dan paham aturan.

"Selama aku menerapkan parenting VOC ini ya, anakku semuanya rata-rata mandiri. Si Malvin pun belum 2 tahun sudah bisa mengambil baju sendiri, minum sendiri, makan sendiri, dan semuanya serba sendiri," ucapnya dalam unggahan video TikTok pada 19 Maret 2024.

Dampak Pola Asuh VOC pada Anak

Dilansir dari jurnal Universitas Padjadjaran berjudul Dampak Pola Asuh Otoritas Terhadap Perkembangan Psikososial Anak Usia Prasekolah, yang ditulis Hana Faiha Fikriyyah, R Nunung Nurwati, dan Meilanny Budiarti Santoso, pola pengasuhan otoriter memang lebih keras dibandingkan tipe lain.

Gaya pengasuhan parenting VOC cenderung keras dan menekankan kedisiplinan yang tinggi. Orang tua menuntut anak mematuhi aturan-aturan yang dibuat dan lebih banyak
memaksakan kehendak. Tak jarang, orang tua memberikan hukuman jika aturan-aturan tersebut dilanggar.

Anak juga dikontrol dan kurang mendapatkan kesempatan untuk berdiskusi. Hal ini membuat anak berkembang menjadi anak yang kaku, sulit beradaptasi, tidak percaya diri, bahkan bisa mengarah pada perilaku-perilaku agresif, seperti sulit mengendalikan emosi dan menjadi tantrum.

Parenting VOC juga membuat anak merasa tidak bahagia, canggung, cenderung agresif, dan kesulitan dalam mengatur konsentrasi. Pola asuh ini justru membuat anak menjadi pemilih dan takut berinteraksi dengan orang baru. Mereka juga kurang dalam berinisiatif dan tidak bagus dalam berkomunikasi.

Dalam kehidupan sosial, anak menjadi sulit bergaul dan tidak percaya diri. Orang tua mungkin akan melihat anaknya menjadi penurut, tapi si anak menjadi sangat agresif di belakang orang tua atau di depan orang lain.

Anak juga menjadi sangat ketergantungan dengan orang lain, sulit bertanggung jawab dengan dirinya sendiri, kehilangan rasa kepercayaan diri, dan sulit mengambil keputusan. Puncaknya, mereka akan melakukan perlawanan karena terlalu banyak dilarang.

Pada dasarnya, setiap orang tua ingin memberikan yang terbaik untuk anaknya. Setiap pola asuh pun memiliki kelebihan dan kekurangan yang bisa mempengaruhi perkembangan anak. Namun, perlu digaris bawahi bahwasanya, hasil dari pola asuh yang sama bisa berdampak berbeda pada setiap anak.

Hal ini juga berlaku untuk pola asuh otoriter. Pola asuh otoriter yang menekankan penerapan disiplin orang tua terhadap anak, mungkin dapat memberikan dampak positif bagi pembentukan kedisiplinan anak di masa depan.

Sayangnya, pola asuh ini tidak sesuai dengan generasi muda saat ini yang membutuhkan pola asuh yang lebih adaptif, fleksibel, dan berorientasi pada dialog, bukan hanya kontrol dan otoritas. Pola asuh yang lebih humanis diyakini dapat membantu mereka menjadi individu yang kreatif, percaya diri, dan memiliki kemampuan problem solving yang lebih baik.

Terlepas dari pro dan kontranya, orang tua diharapkan tetap bijak dalam memilih pendekatan yang sesuai dengan kebutuhan anak. Harapannya, pola asuh yang diterapkan dapat mendukung perkembangan mental dan emosional yang sehat.

Artikel ini ditulis oleh Sri Rahayu, peserta Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom.




(ihc/irb)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads