Fenomena generasi sandwich semakin sering terdengar, terutama di kalangan milenial yang kini memasuki fase kehidupan yang menantang. Mereka terhimpit dalam tanggung jawab ganda, merawat orang tua yang semakin menua, sambil mengurus anak-anak bagi yang sudah menikah.
Sementara bagi yang belum menikah, akan menghadapi situasi di mana harus bertanggung jawab atas dirinya dan adik-adiknya. Hal ini membutuhkan perhatian dan biaya yang tidak sedikit. Generasi ini disebut "sandwich" karena mereka terjepit di antara dua generasi, menjadi penyokong utama baik secara emosional maupun finansial.
Generasi ini seringkali digunakan sebagai sebutan "sandiwich" diibaratkan seperti dua buah potong roti yang menghimpit sepotong daging. Di mana, posisi daging sebagai diri sendiri yang terjepit dengan kondisi-kondisi emosional, ekonomi, karier, kehidupan, hingga kondisi lainnya yang mengakibatkan generasi ini merasakan tekanan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut data terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS), semakin banyak orang di usia produktif yang mengalami tekanan akibat peran ganda ini. Tak hanya harus menyeimbangkan karier, mereka juga menghadapi tantangan dalam mengatur keuangan untuk dua generasi sekaligus.
Dilansir dari Jurnal Universitas Padjadjaran yang berjudul Generasi Sandwich: Konflik Peran dalam Mencapai Keberfungsian Sosial yang ditulis Meilanny Budiarti Santoso, generasi sandwich sering mengalami dampak seperti kelelahan fisik dan mental (burnout), karena mereka harus menanggung beban merawat orang tua sekaligus anak-anak mereka.
Situasi ini memaksa mereka untuk bekerja lebih keras, karena kebutuhan finansial yang meningkat dua kali lipat. Akibatnya, mereka harus mengorbankan waktu tidur dengan mengambil pekerjaan tambahan, pulang larut malam setelah lembur, atau bangun lebih awal demi mengejar pendapatan tambahan.
Siapa yang Termasuk Generasi Sandwich?
Generasi sandwich umumnya terdiri dari individu yang berusia 30 hingga 40 tahun. Mereka berada di puncak produktivitas dalam karier, tetapi menghadapi tekanan berat karena harus menanggung dua beban besar.
Yaitu orang tua yang semakin lanjut usia dan membutuhkan perhatian serta dukungan finansial, dan anak-anak yang masih usia sekolah. Banyak dari mereka juga menghadapi tantangan dengan biaya hidup yang terus meningkat, sehingga beberapa terpaksa mencari sumber pendapatan tambahan.
Namun, seiring perkembangan zaman, tidak menutup kemungkinan bahwa generasi Z yang saat ini berusia di kisaran 20-an hingga awal 30-an, juga bisa dikategorikan sebagai generasi sandwich.
Meskipun usia mereka lebih muda dari generasi sebelumnya, banyak di antara mereka yang sudah mulai merasakan beban ganda. Hal ini dipengaruhi berbagai faktor, seperti kondisi ekonomi yang menantang dan peran sosial yang semakin kompleks.
Tekanan ini membuat Gen Z rentan mengalami kelelahan mental dan fisik lebih cepat dibandingkan generasi sebelumnya. Berbagai tantangan seperti harga sembako terus melonjak, biaya pendidikan semakin tinggi, dan ketidakpastian pekerjaan, generasi ini dihadapkan pilihan sulit dalam menyeimbangkan kehidupan pribadi, keluarga, dan karier.
Solusi Manajemen Waktu dan Dukungan Sosial
Dilansir dari jurnal Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang yang berjudul Pentingnya Komunikasi Terbuka dalam Menangani Tantangan Psikologis Perempuan Dewasa Belum Menikah dalam Keluarga Sandwich Generations yang ditulis Aryani Pamukti dan Elok Halimatus Sa'diyah, ada berbagai cara mengatasi masalah generasi sandwich.
Seperti yang dilakukan perempuan dalam keluarga generasi sandwich untuk menyelesaikan masalah, di antaranya berkompromi dengan anggota keluarga lainnya, membiarkan orang tua yang sedang mengalami tantrum, dan mencari bantuan dari pihak luar.
Meskipun menjadi bagian dari generasi sandwich penuh tantangan, ada beberapa cara untuk menghadapinya. Manajemen waktu yang baik dan dukungan sosial dari keluarga besar atau komunitas dapat membantu meringankan beban.
Selain itu, pemerintah dan perusahaan diharapkan lebih peka dengan situasi ini, misalnya memberikan fleksibilitas kerja atau program kesejahteraan yang lebih mendukung. Peningkatan literasi keuangan juga menjadi kunci penting. Dengan perencanaan keuangan yang baik, generasi ini dapat lebih siap menghadapi beban ekonomi yang tak terelakkan.
Artikel ini ditulis oleh Sri Rahayu, peserta Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom.
(ihc/irb)