Anggota DPRD di sejumlah daerah di Jatim ramai-ramai menggadaikan Surat Keputusan (SK) Pengangkatan usai pelantikan. Mereka mengajukan pinjaman ke bank hingga lebih dari Rp 500 juta diduga untuk menutupi biaya pencalonan.
Guru Besar Sosiologi Universitas Airlangga, Prof Hotman Siahaan mengatakan bahwa hal seperti ini merupakan demokrasi transaksional. Menurutnya, dalam demokrasi transaksional tidak mungkin para caleg tersebut tidak berjuang mati-matian dengan dana yang besar hingga akhirnya terpilih dan dilantik.
"Inilah problem demokrasi kita, ketika sistem pemilu prosedural, orang tidak melihat program dari para calon. Yang terpenting kan isi tas piro? Entek (isi tas berapa? Habis sudah). Jadi begitu terpilih, dilantik, apalagi yang bisa digunakan? Kan SK itu. Apalagi bank juga mau terima," ujar Prof Hotman kepada detikJatim, Jumat (13/9/2024).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hotman menyebutkan mahal tidaknya biaya kampanye itu relatif. Akan tetapi, kata dia, ada yang mahal dan sangat mahal.
"Saya dengar di DPRD, ini isu di DPRD Provinsi ya, ada temen saya yang habis Rp 3 miliar. Rp 1 miliar masih ngutang, Rp 2 miliar uangnya sendiri. Ada juga yang lain, jangan sebut nama, habis Rp 5 miliar. Itu baru DPRD Provinsi, apalagi DPR RI," ujarnya.
Hotman menegaskan kembali bahwa demokrasi yang terjadi di Indonesia ini prosedural sehingga mengikuti prosedur yang ada. Tentu saja demokrasi seperti itu berbeda dengan demokrasi secara substansial.
"Orang mau memilih bukan karena program yang dibawa oleh calon. Tidak akan pernah ada caleg promosi kebijakan/rancangan yang didengarkan. Sing penting kan oleh opo, dipilih (yang penting kan dapet apa, itu yang dipilih). Sembako atau apa. Kan begitu," pungkasnya.
(dpe/iwd)