Jelajah Mudik Ramadan 2024

Nguri-uri Budaya di Bumi Reog Lalu Memborong Sate Khas Ponorogo

Aprilia Devi - detikJatim
Kamis, 04 Apr 2024 17:51 WIB
Salah satu perajin reyog Wisma Lodaya, Ginanjar Heru Cahyo. (Foto: Aprilia Devi/detikJatim)
Ponorogo -

Setelah memantau kesiapan mudik di Ngawi dan Kota Madiun, Tim Jelajah Mudik Ramadan 2024 detikJatim melanjutkan perjalanan ke Bumi Reog Ponorogo. Perjalanan selama kurang dari 1 jam ditempuh dengan lancar menjelang malam.

Tiba di tujuan kami menyadari bahwa Ponorogo telah berubah. Daerah ini telah bersolek. Tim pun menyempatkan untuk rehat ngopi cantik di Jalan Hos Cokroaminoto yang menjadi bagian dari kawasan Segi 8 Emas.

Ngopi di sini sungguh estetik, layaknya ngopi di Malioboro, Yogyakarta. Ada yang bilang, kawasan ini adalah Malioporo alias Malioboronya Ponorogo. Asyik betul, sepanjang jalan ini dihiasi temaram dari lampu-lampu bernuansa klasik.

Salah satu misi detikJatim di Bumi Reog adalah mengudara kisah kerinduan warga Ponorogo yang ada di berbagai daerah di Tanah Air bahkan di luar negeri terhadap kampung halamannya. Rasa rindu saat musim mudik Lebaran ternyata tak hanya ditujukan pada sanak saudara.

Masyarakat Ponorogo ternyata menyimpan kerinduan tersendiri terhadap reog, warisan budaya di tanah kelahirannya. Alhasil misi untuk pulang ke rumah saat Lebaran juga berbarengan dengan tujuan nguri-uri budaya.

Reog sebagai kebanggaan warga Ponorogo telah melanglang buana ke berbagai penjuru dunia dengan seni tradisionalnya yang indah, energik, serta cerita di baliknya yang unik.

Untuk menggali cerita itu, Tim Jelajah berjumpa dengan Ketua Yayasan Reog Ponorogo, Budi Warsito. Setelah sambutan yang hangat, dia sampaikan bagaimana masyarakat rantau Ponorogo ingin segera melepas rindu dengan seni reog begitu mereka pulang ke tanah kelahiran.

"Keberadaan bapak ibu di luar Ponorogo yang bekerja itu mereka akan balik kampung atau mudik, h-10 atau h-7 Lebaran sudah pada mudik. Selesai Lebaran biasanya ada pagelaran (reog) untuk obat rindu. Sekaligus mereka ingin mengekspresikan untuk seni reog," ujar Budi kepada detikJatim, Jumat (22/3/2024).

Budi menceritakan sekilas soal reog yang merupakan legenda asli Ponorogo. Ternyata melalui kesenian reog ini, masyarakat bisa sekaligus memberikan peringatan kepada para pemimpin agar selalu ingat dengan rakyatnya.

"Reog itu bisa sebuah satire, sindiran. Intinya sama agar pemimpin agar tidak melupakan rakyat. Karena cerita reog itu berbagai versi tapi intinya sama. Ada seorang raja dinamakan Singo Barong yang jatuh cinta dengan putri asli kediri Dewi Songgolangi. Rahanya Kelana Sewandana, sang kelono ini jatuh cinta, kelihatannya agak lupa sama pelayanan terhadap rakyatnya. Sehingga dibuat lah seni tari itu tadi," ujarnya.

Namun ada pula beberapa cerita versi lain. Salah satunya berkaitan dengan perkembangan syiar agama islam di tanah Jawa. Maka tak heran bisa terlihat akulturasi budaya yang cukup kental di pertunjukan reog.

detikers bisa berkunjung ke Yayasan Reog Ponorogo Jalan Sultan Agung No.19, Sultanagung, Nologaten, Ponorogo untuk turut menggali kisah lebih lanjut terkait reog ini hingga melihat penampilan kesenian reog.

Namun, di balik pesona reog Ponorogo itu ada dilema yang muncul sejak pemberlakuan UU 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

Pegiat kesenian reog harus putar otak untuk menghasilkan barong terbaik namun tak lagi menggunakan kulit harimau untuk Barongan dan bulu Merak untuk Dadak Merak. Keduanya adalah hewan yang dilindungi.

Yayasan Reog Ponorogo tak kehabisan cara. Bekerja sama dengan Pertamina, mereka berhasil mengumpulkan perajin barongan melalui lomba nyorek barongan. Semua perajin di loba ini berhasil menyulap kulit sapi atau domba menjadi mirip kulit harimau.

"Agar kebutuhan bahan baku barong dan dadak merak ini terus lestari alhamdulillah 2022 dengan bekerjasama den didanai Pertamina dilaksanakan lomba Nyoreg Baronhan di Ponorogo. Ada lomba untuk para perajin melukis barong dari kulit sapi dan kambing karena teksturnya hampir sama (dengan kulit harimau) jadi dibuat dengan sedemikian rupa seperti ini. Ada pula gelar UMKM, gelar diklat, serta gelar tari Reog," tuturnya.

Masih ingin menggali lebih dalam lagi soal reog Ponorogo, detikJatim tancap gas ke Jalan Diponegoro, Desa Kauman, Ponorogo menemui salah satu perajin reog Wisma Lodaya.

Ketua Yayasan Reyog Ponorogo, Budi Warsito (kiri). Foto: Aprilia Devi

Adalah Ginanjar Heru Cahyo, seniman reog sekaligus perajin Barongan dan Dadak Merak merupakan generasi ketiga seniman perajin reog yang legendaris, Mbah Sisok. Sosok kakek buyut Heru itu konon merupakan perajin reog pertama sejak 1936 silam.

Sosok yang beberapa kali berkesempatan mengenalkan reog ke berbagai negara mulai Filipina, Malaysia, dan Arab Saudi ini masih aktif memproduksi dadak merak hingga barong yang digunakan untuk penampilan tari reog.

"Turun temurun mulai dari kakek, bapak, sampai saya generasi ketiga. Mbah saya Mbah Sisok di tahun 1936 mulai jadi perajin reog pertama. Kalau saat ini juga sudah ada Paguyuban Reog dan Sanggar Tari Kawulo Bantarangin di sini," ujarnya.

Dilema yang dirasakan oleh Yayasan Reog Ponorogo ternyata juga dirasakan oleh para perajin barongan seperti Heru. Mereka perlu mencurahkan inovasinya untuk membuat barong agar semirip mungkin dengan harimau.

"Kami berusaha inovasi sebaiknya membuat motif barongan yang semirip mungkin dengan yang asli. Karena mulai tahun 90-an sudah dilarang UU untuk menggunakan hewan yang dilindungi. Kami lantas membuat membuat lukisannya. Tantangan terbesarnya adalah untuk membuat (barong) semirip mungkin," katanya.

Sanggar Tari Kawulo Bantarangin ini terbuka untuk umum berkunjung ke sini dalam rangka nguri-uri budaya untuk bisa melihat proses pembuatan barongan serta dadak merak reog.

Bahkan di sini juga ada koleksi barongan yang diproduksi sejak 1956 menggunakan kepala harimau asli, namun tentu sudah terdaftar sebagai situs yang diawasi oleh pemerintah.

"Barongan di sini ada yang dari tahun 195, sudah turun temurun gak akan dijual. Di sini juga boleh dikunjungi oleh wisatawan dalam rangka edukasi serta pengenalan seni budaya," ungkapnya.

Menarik ternyata saat momen mudik Lebaran juga sejalan dengan misi melestarikan budaya bangsa. Masyarakat Indonesia perlu terus menjaga budaya yang indah dan kaya ini. Di manapun kaki berpijak, jangan lupa dengan tanah kelahiran dan budaya bangsa kita yang kaya ya, detikers!

Memborong sate khas Ponorogo di halaman selanjutnya.




(dpe/dte)

Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork