Puluhan Petugas Pemilu Meninggal, Pakar Kesehatan Unair Jelaskan Faktornya

Puluhan Petugas Pemilu Meninggal, Pakar Kesehatan Unair Jelaskan Faktornya

Esti Widiyana - detikJatim
Sabtu, 17 Feb 2024 18:48 WIB
Satu KPPS Kota Madiun Meninggal karena kelelahan
Jenazah salah satu petugas KPPS di Madiun. (Foto: Istimewa/Dok Polsek Manguharjo)
Surabaya - Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyampaikan hingga saat ini 35 petugas penyelenggara Pemilu 2024 yang dinyatakan meninggal. Jumlah itu berdasarkan data kumulatif periode 14-15 Februari 2024. Pakar kesehatan Unair Surabaya menyebutkan bahwa kematian para petugas Pemilu itu terkategori mendadak.

Dosen di Fakultas Kedokteran (FK) Unair, Dr dr Andrianto Sp JP SubSp IKKv(K) FIHA FAPSC FESC menyatakan dari sekian petugas pemilu yang meninggal tanpa terdeteksi masalah kesehatan sebelumnya terkategori kematian mendadak. Paling sering kematian itu akibat penyakit jantung.

"Kalau dari gejala-gejala mengarah jantung dan pembuluh darah atau kardiovaskuler, sehingga sangat mungkin kejadian sekarang hampir sama dengan Pemilu yang lalu," kata dr Andrianto saat dihubungi detikJatim, Sabtu (17/2/2024).

Namun, kata dia, apa yang terjadi pada Pemilu 2024 ini sudah dilakukan mitigasi atau pencegahan. Sehingga Andrianto mengatakan bahwa fatalitas para petugas KPU tidak sampai separah 2019.

"Hanya saja sebenarnya mitigasi kejadian ini sudah dilakukan sebelum pemungutan suara, sebelum melakukan tugasnya. Sehingga dibandingkan dengan tahun lalu hasilnya tidak lebih besar dari Pemilu 2019," ujarnya.

Data KPU menunjukkan sebanyak 35 petugas pemilu yang meninggal. Jumlah ini lebih kecil dibandingkan Pemilu 2019 yang mana saat itu KPU mendata petugas KPPS yang meninggal 486 jiwa sedangkan Kemenkes dalam siaran persnya pada 16 Mei 2019 menyebut 527 petugas Pemilu meninggal.

Dokter Andrianto kembali menjelaskan bahwa penyakit kardiovaskuler dikenal sebagai silent killer sehingga pasien tanpa gejala dipicu beban tugas berlebih hingga mengabaikan waktu istirahat.

Seharusnya, kata dia, saat sudah mengalami gejala awal segera melakukan upaya agar bisa dikenali masalahnya. Selanjutnya agar segera dilakukan penanganan sesuai dengan masalah yang ditemukan.

Dalam kejadian kematian mendadak paling banyak karena kardiovaskuler atau pembuluh darah. Kematian mendadak karena kardiovaskuler terdapat beberapa sebab.

"Paling sering jantung koroner, karena adanya sumbatan mendadak dari pembuluh darah yang memberikan suplai ke otot jantung. Otot jantung akhirnya tidak mendaoay suplai maksimal dan otot jantung mengalami gangguan, terutama gangguan irama. Jantung yang harusnya berdenyut secara efektif dia tidak melakukan sistem denyutan efektif untuk menghasilkan pompa kontraksi kepada jantung dan menjadi kolaps," jelasnya.

Selain itu bisa disebabkan oleh kelainan jantung irama yang mulanya tidak diketahui dan tanpa keluhan. Karena ada pemicu, terlebih kelelahan, baik fisik maupun psikis, sehingga gangguan iramanya muncul.

"Bila tidak bisa melakukan upaya penyelamatan (seperti pijat jantung) dalam hitungan 4-6 menit meninggal pasien itu. Itu gangguan irama ganas, biasanya tidak bergejala, apa lagi usia muda berpotensial tanpa gejala," ujarnya.

Kemudian bisa dari anatomi jantung, terdapat penebalan jantung tebal dan komplikasi yang sering terjadi karena gangguan irama. Hal ini kematiannya juga tidak diduga dan tidak terdeteksi sebelumnya.

"Syarat KPPS usia muda, ada penyakit-penyakit yang mungkin bisa disadari mereka memiliki penyakit, tapi tanpa gejala sebelumnya," kata dosen FK Unair ini.

Meski angka kematian petugas Pemilu 2024 tidak sebanyak 2019, dr Andrianto menyebut kasus ini menjadi catatan bagi KPU RI. Khususnya dalam melakukan pemeriksaan kesehatan harus lebih komperhensif, terutama radiovaskuler.

"Dia tidak punya komorbid, usia muda. Tapi tes yang kaitannya dengan kapasitas fungsional seseorang bisa menjalankan tugas uang berat, ya tes benar jantung. Salah satunya dengan treadmill test orang lari di alat, sehingga kita tahu ketika ada beban, respon jantung apa sebenarnya yang terjadi," urainya.

Bila hanya pemeriksaan rutin yang dasar, basic, menurut dr Andrianto tidak menggambarkan kapasitas fungsional jantung, seperti ketika ada beban yang lebih bagaimana responnya. Ketika melakukan tes semacam itu dirasa akan jauh lebih teliti.

"Agar bisa melihat kapasitas fungsional seseorang untuk melakukan kegiatan bisa diukur. Oh kalau melakukan berat mampu, atau orang ini hanya mampu kegiatan sedang, itu hanya treadmill test. Kalau hanya dengan, maaf, pemeriksaan darah, rekam jantung pada istirahat, itu kurang teliti, bisa menggambarkan jantung pada keadaan pada beban bagaimana," tutur dr Andrianto.

"Tes beban jantung diperlukan. Memang dengan waktu yang sangat mepet kemarin atau hal yang mungkin kurang dipertimbangkan akhirnya tidak bisa menggali kondisi-kondisi yang sebenarnya dari seseorang ketika ada beban yang lebih berat," pungkasnya.


(dpe/fat)


Hide Ads