Penjelasan Dinkes dan KPU Usai Ketua KPPS di Surabaya Meninggal Kelelahan

Penjelasan Dinkes dan KPU Usai Ketua KPPS di Surabaya Meninggal Kelelahan

Esti Widiyana - detikJatim
Sabtu, 17 Feb 2024 06:00 WIB
Suasana di gang kampung tempat tinggal salah satu Ketua KPPS di Surabaya yang meninggal diduga kelelahan.
Suasana di rumah duka Ketua KPPS di Surabaya yang meninggal usai 2 hari tak sadarkan diri diduga kelelahan. (Foto: Esti Widiyana/detikJatim)
Surabaya -

Almarhum Joko Budiono, Ketua KPPS di TPS 042, Kelurahan Ngagel Rejo, Kecamatan Wonokromo, Surabaya dinyatakan meninggal di usia 52 tahun, hari ini. Dia sempat pingsan dan tak sadarkan diri selama 2 hari diduga kelelahan dan memiliki penyakit penyerta gula darah tinggi.

Fauziah Kadir (52), istri Almarhum Joko mengatakan bahwa dia juga baru tahu bahwa gula darah suaminya tinggi setelah dilakukan tes darah lengkap saat dirawat di RSU Dr Soetomo. Dia dilarikan ke rumah sakit usai pingsan sebelum penghitungan suara di TPS tempat dia bertugas pada Rabu (14/2).

"Tahunya kemarin (gula darah tinggi) pas dicek darah lengkap itu. Tahunya di RS," kata Fauziah saat ditemui detikJatim di rumahnya, di Jalan Krukah 7B, Jumat (16/3/2024).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kepala Dinkes Surabaya Nanik Sukristina mengatakan Joko memang sudah sakit. Bahkan 2 hari sebelum Pemilu 2024 yang bersangkutan melakukan biopsi atau prosedur pengambilan sampel jaringan untuk mendeteksi kelainan pada tubuh.

"Tapi beliau memang dari awal sudah sakit. Tanggal 12 (Februari) itu sudah menjalani biopsi di RSU Dr Soetomo," kata Nanik kepada detikJatim.

ADVERTISEMENT

Selanjutnya, kata Nanik, pada 14 Februari atau ketika Pemilu berlangsung, Joko bertugas sebagai Ketua KPPS. Sore harinya dia dilarikan ke RSU Dr Soetomo dan riwayat sakit sebelumnya.

Nanik mengatakan bahwa pada saat pendaftaran anggota KPPS pada 11 Desember 2023, ada sejumlah persyaratan yang memang harus dipenuhi oleh Joko. Salah satunya terkait surat keterangan sehat.

Berdasarkan Peraturan KPU Nomor 8 Tahun 2022 Pasal 35 ayat 1, salah satu persyaratannya yakni jasmani, rohani dan bebas dari penyalahgunaan narkotika. Dokumen yang disertakan ialah surat keterangan sehat jasmani dan rohani dari puskesmas, rumah sakit atau klinik.

Nanik menjelaskan pada saat pendaftaran itu ada sejumlah persyaratan dari KPU, salah satunya harus menyertakan surat keterangan sehat. Skrining kesehatan itu bisa dilaksanakan di Puskesmas atau di faskes lainnya.

"Yang dipersyaratkan oleh KPU itu ada pemeriksaan gula darah, kolesterol dan asam urat. Selain yang standar ya, BB, TB, pemeriksaan tensi dan sebagainya," jelasnya.

Sedangkan untuk Joko Budiono, Nanik menyebutkan bahwa pria itu tidak melakukan skrining di Puskesmas. Joko melakukannya di faskes lainnya, sehingga Dinkes tidak memiliki data.

"Mohon maaf kalau skriningnya dari Pak Joko itu kami cari di data kami tidak ada. Kemungkinan beliau screening di faskes di luar," ujarnya.

Sementara itu, Komisioner KPU Surabaya Divisi Sosialisasi, Pendidikan Pemilih, Partisipasi Masyarakat dan SDM Subairi mengatakan bahwa sebelum mendaftar Joko sudah menyertakan dokumen surat sehat. Surat itu menyatakan kondisi kesehatan Joko baik.

"Kalau tiba-tiba yang bersangkutan punya komorbid sebelum itu sedang makan apa kan kami tidak tahu. Pastinya saat daftar, yang bersangkutan dalam kondisi sehat wal afiat. Tidak ada komorbid dan sebagainya, surat keterangan sehatnya ada di kami," jelasnya.

Subairi juga menegaskan bahwa KPU Surabaya tidak bisa disebut kecolongan saat KPPS yang telah direkrut ternyata memiliki komorbid meninggal. Sebab pada saat pendaftaran surat sehat itu sudah disertakan.

"Apanya yang kecolongan? Yang bersangkutan dan siapa pun yang mendaftar itu kan membawa surat sehat, mengumpulkan surat sehat dan (sudah dinyatakan) sehat wal afiat," katanya.

Menurut Subairi, saat pelantikan KPPS justru jauh lebih melelahkan dibandingkan dengan proses pencoblosan atau penghitungan suara. Karena secara fisik, tenaga para petugas lebih terkuras.

"Pada pelantikan disertai tanam pohon ruang terbuka juga nggak ada apa-apa. Kalau punya komorbid, saat berdiri pelantikan bisa nggeblak (pingsan), lebih lama dari pelantikan. Kalau rekap duduk-duduk. Pelantikan justru lebih capek fisiknya, tanam pohon. Soalnya yang bersangkutan sakit setelah mendaftar. Ya kita nggak tahu, namanya juga penyakit," ujarnya.




(dpe/iwd)


Hide Ads