Tuberkulosis (TBC) masih menjadi ancaman bagi kesehatan masyarakat. Tim Percepatan Penanggulangan Tuberculosis (TBC) Tulungagung menemukan ribuan kasus baru tahun 2023.
Kabid Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2PM) Dinas Kesehatan Tulungagung, dr Desi Lusiana Wardhani, mengatakan hingga 30 November 2023 pihaknya menemukan 15.120 kasus yang dicurigai TBC. Dari jumlah itu 1.417 kasus telah terkonfirmasi positif TBC.
"Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang ditetapkan Pemerintah Kabupaten Tulungagung untuk tahun ini terget pelacakan adalah 9.088. Jadi 15.120 sudah melampaui target," kata dr Desi, Kamis (14/12/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurutnya, temuan 1.417 kasus baru tersebut menjadi perhatian serius dari dinas kesehatan maupun tim percepatan penanggulangan TBC Tulungagung.
Untuk melakukan proses penanganan kasus TBC tersebut pihaknya menggerakkan seluruh layanan kesehatan yang ada di Tulungagung mulai dari puskesmas, rumah sakit, kader TBC, Non Government Organization (NGO) dan sejumlah organisasi kemasyarakatan.
Kader TBC memiliki peran yang sangat penting untuk mendukung upaya penanggulangan. Sebab, mereka turun langsung ke pasien-pasien untuk sebagai Pengawas Menelan Obat (PMO), pengiriman obat, rujukan kontak erat dengan pasien untuk terapi pencegahan, serta identifikasi dan pemberitahuan kasus TBC melalui edukasi dan Investigasi Kontak (IK).
"Di luar peran kader TBC, pengendalian TBC di tingkat desa melibatkan partisipasi masyarakat untuk memperluas cakupan imunisasi, identifikasi kasus, meningkatkan keberhasilan pengobatan," imbuhnya.
Hingga kini salah satu persoalan yang menjadi tantangan dalam penanggulangan TBC adalah kesadaran pasien untuk pengobatan hingga tuntas. Kejenuhan untuk melakukan pengobatan hingga selesai biasanya dipicu oleh durasi minum obat yang panjang, hingga 6 bulan.
"Tahun ini ada kasus TBC yang menghilang yaitu sebanyak 77 penderita. Artinya itu akan meningkatkan potensi kegagalan dalam pengobatan," imbuhnya.
Salah satu NGO TBC di Tulungagung, Yayasan Bhanu Yasa Sejahtera (Yabhysa) menggerakkan sekitar 60 kader TBC di tingkat desa untuk melakukan pendampingan pengobatan para pasien hingga tuntas.
Ketua Yabhysa Tulungagung, Cut Mala Hayati Anshari, mengatakan para kader menjadi garda terdepan membantu pemerintah dalam proses pelacakan hingga pendampingan pengobatan para pasien TBC.
"Kader akan melalukan pendampingan pengobatan hingga tuntas, selama enam bulan untuk pasien TBC SO dan pasien TBC MDR ada yang jangka pendek sembilan bulan hingga 22 bulan," jelasnya.
Dia mengatakan, dalam proses pendampingan pengobatan biasanya para kader menemukan sejumlah persoalan. Salah satunya penolakan pengobatan dari penderita.
Untuk mengoptimalkan proses penanggulangan TBC di Tulungagung pihaknya mendorong agar pemerintah desa memberikan perhatian khusus kasus TBC. Salah satunya memberikan anggaran dari dana desa.
"Dukungan dari desa itu sangat penting, untuk edukasi atau penyuluhan kepada masyarakat, kemudian untuk mendukung transportasi pada kader, karena mereka ini setiap hari ke rumah pasien hingga pengobatan selesai. Alokasi anggaran juga bisa untuk bantuan sosial bagi penderita," imbuhnya.
Sementara penggerak swadaya masyarakat ahli pertama Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa (DPMD) Tulungagung, Rudi Prasetyo, mengatakan alokasi anggaran untuk kader maupun penanganan pasien TBC bisa dilakukan.
"Jadi, sangat mungkin untuk dilakukan baik untuk kader maupun penanganan pasien. Hanya saja harus melalui tahapan penganggaran," kata Rudi.
Pihaknya mengaku beberapa pemerintah desa mulai memberikan perhatian terhadap penanganan TBC, hanya saja jumlahnya masih kecil.
"Ini mungkin terjadi karena ketidaktahuan dari kelapa desa terhadap pentingnya penanganan TBC," jelasnya.
(dpe/fat)