Seperti namanya, program bantuan hukum cuma-cuma atau prodeo hanya diperuntukkan bagi masyarakat tak mampu atau pemohon dengan pendapatan rendah. Pengadilan Negeri (PN) Surabaya sendiri paling banyak menerima permohonan bantuan hukum untuk kasus pencabulan.
Data yang diperoleh detikJatim menyebutkan, dalam 9 bulan terakhir jumlah perkara yang memohon bantuan hukum prodeo mencapai 21 permohonan. Dari jumlah tersebut didominasi pencabulan dan persetubuhan. Sementara, jumlah perkara selama 9 bulan di 2022 lalu serupa, namun didominasi narkotika.
Wakil Humas PN Surabaya Anak Agung Gede Agung Pranata mengatakan tak sedikit masyarakat yang ingin konsultasi sampai memperoleh bantuan hukum di PN Surabaya. Namun, tak semuanya mengetahui tata cara melakukan permohonan bantuan hukum, baik perkara pencabulan, pemerkosaan, hingga narkotika setiap tahunnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Masyarakat bisa mengunjungi posbakum, bisa dipastikan itu gratis, sudah ada anggaran sendiri setiap tahun untuk posbakum. Mungkin saudara, orang-orang, atau konsultasi karena kesulitan pengacara bisa mengunjungi posbakum," kata Agung kepada detikJatim, Sabtu (29/9/2023)
Agung menjelaskan, penanganan perkara oleh posbakum tak hanya perdata. Bisa juga terkait pidana dan tak dipungut biaya sepeser pun.
"Kalau pidana kan tidak wajib, hanya butuh pendampingan. Kalau di PN Surabaya banyak, mas, ada perkara pencabulan dengan ancaman di atas 5 tahun didampingi pengacara, lalu kami menunjuk LBH di PN Surabaya. Selain pencabulan, ada pembunuhan mahasiswa Ubaya dengan terdakwa guru musik, dan lain sebagainya," ujarnya.
Menurutnya, permohonan bantuan hukum di PN Surabaya tahun ini lebih banyak. Sementara persyaratan pengajuan bantuan hukum hanya diwajibkan mempunyai SKTM.
"Kemudian mengisi formulir, lalu bisa secara non litigasi atau drafting, bisa juga pendampingan di kepolisian atau di mana pun, tidak harus di PN Surabaya," imbuhnya.
Agung memastikan mereka yang membutuhkan bantuan hukum harus langsung dari keluarga terdakwa atau pemohon. Seluruh aturan itu, sambung dia, berdasarkan Perma nomor 1 tahun 2014.
Peraturan tersebut menyebutkan, masyarakat tidak mampu berhak mendapatkan bantuan hukum di pengadilan, mulai dari pelayanan meja informasi, posbakum, sidang luar pengadilan, sampai pembebasan biaya perkara.
Sementara Pembina LBH Legundi Advend Dio Randy mengatakan tidak semua permohonan diterima dan mendapat bantuan hukum. Sebab, pihaknya harus melakukan filter dan tahu legal standing perkaranya terlebih dulu.
"Misalnya perkara privasi, kan ada kontrak perjanjian dan sebagainya. Sehingga tidak bisa menerima kalau bukan orangnya sendiri atau yang bersangkutan," tuturnya.
Randy menegaskan, secara paralel, biasanya keluarga juga bisa memberikan identitas untuk memberikan syarat-syarat bantuan hukum. Namun, keluarga tak boleh mengintervensi pemberi bantuan hukum sesuai kehendaknya.
"Memang, yang paling vital adalah memberikan advice atau konsultasi hukum itu yang jelas nyata. Misalnya, terdakwa atau tersangka ini melakukan pidana dan harus dijelaskan, bukan ngomong yang tidak-tidak atau menjanjikan, itu melanggar profesi advokat," katanya.
Maka dari itu, selain memberikan bantuan hukum, pihaknya juga memberikan edukasi tentang hal nyata yang dihadapi. Lalu, memintakan keringanan pidana kepada hakim dan jaksa saat sidang.
"Tetapi, beda dengan terdakwa yang tidak terbukti pidana, kami juga akan bela sesuai fakta dan bukti yang ada," tutupnya.
(irb/fat)












































