Namun, perubahan iklim memaksa mereka mengubah kebiasaan. Hasil laut dan tambak yang menyusut membuat pikiran mereka terbuka. Bahwa mencari ilmu adalah sebuah kewajiban jika ingin generasi mereka berkelanjutan.
Secara ekonomi, warga kampung nelayan Tani Baru Dalam, Kecamatan Anggana bisa dikategorikan mampu. Mereka mampu membeli berbagai barang kebutuhan tersier hanya dari penghasilan mencari kepiting. Belum lagi penghasilan yang diperoleh dari panen tambak udang dan ikan. Sayangnya, warga di sana belum memikirkan pentingnya pendidikan bagi keberlangsungan dan kemajuan peradaban.
Tak heran, fasilitas pendidikan di sana kurang mendapat perhatian karena minimnya minat warga sekitar untuk bersekolah. Hanya sebuah SD Inpres dengan kondisi fisik bangunan seadanya yang jadi tetenger pendidikan di sana sejak 1993.
Para pelajar dan staf pengajar di lembaga pendidikan itu harus berjalan kaki dengan jarak tempuh sekitar 25 menit dari kampung nelayan terdekat, yakni Tani Baru Darat. Sedangkan siswa dari Desa Tani Makmur dan Tani Subur harus berjalan menyusuri empang dengan waktu tempuh sekitar satu jam. Jika empang jebol, mereka balik kanan pulang. Atau nekat berbasah kuyub baju seragam demi mendapatkan pengajaran.
Sementara, siswa yang tinggal di Desa Muara Iluh harus naik perahu dengan waktu tempuh sekitar dua jam. Siswa dari wilayah terjauh ini berangkat dari rumah mereka pukul 05.00 WITA dengan diantar perahu ayahnya. Namun, pulang ke rumah bisa sampai pukul 17.00 WITA, karena bisa tiga jam menunggu perahu ayah mereka menjemput pulang.
Dengan segala keterbatasan fasilitas, sebanyak 58 murid belajar dalam satu kelas yang disekat menjadi tiga. Makin miris, hanya ada satu tenaga pengajar yang mendidik mereka. Dalam sepekan, murid-murid ini jarang sekali masuk sekolah karena gurunya tidak ada yang datang, terkendala transportasi.
Dengan segala keterbatasan inilah, dunia pendidikan di muara Delta Mahakam menjadi suram. Imbasnya, anak-anak nelayan yang enggan pergi ke sekolah, kemudian ikut mencari kepiting dan menjualnya ke pengepul dengan harga murah. Uangnya mereka pakai untuk membeli barang-barang keinginan mereka, seperti handphone dan baju yang sedang ngetren sekarang.
Di sisi lain, anak-anak yang telah mendapatkan penghasilan sendiri ini kemudian memilih menikah di usia dini. Diskriminasi gender menguat ketika anak-anak perempuan tak punya pilihan lain selain dijodohkan oleh keluarga besarnya.
Tahun 1994, pasangan suami istri Haji Darta dan Indriyati mendapat tugas ke daerah itu sebagai PNS guru daerah terpencil. Mereka mengaku tertantang menghadapi kondisi sekolah tempat mereka bertugas. Kondisinya sangat mengenaskan.
Namun, berbekal modal ibadah dan mengabdi untuk kemajuan pendidikan generasi mendatang, pasutri perantauan asal Lampung ini memutuskan tinggal menjadi warga Desa Tani Baru. Sebenarnya ada tiga pasutri guru yang ditempatkan di sekolah ini. Hanya saja yang dua pasang memilih mundur karena tidak kuat menjalani hidup di wilayah terpencil.
Menurut Indriyati, dulu hampir tidak ada guru yang bertahan di sekolah ini. Anak-anak di Tani Baru sebetulnya generasi yang sangat kuat. Namun, potensi mereka tidak mendapatkan wadah yang tepat. Waktu itu tambak masih jaya-jayanya. Warga setempat masih gampang sekali mencari uang. Para orang tua di sini memang sekolah, tapi begitu bisa membaca lalu berhenti.
"Jadi budayanya, anak kalau sudah bisa membaca, ya berhenti sekolah lalu membantu kerja orang tua dan dinikahkan. Mereka orang kaya tapi haus hiburan. Hiburan itu hanya mereka dapat dari mendengarkan lagu-lagu dangdut yang diputar dari kaset, karena yang dikenal hanya lagu dangdut, lagu nasional pun kalau di sini bisa berubah aransemennya menjadi dangdut," papar Indriyati kepada detikJatim, Sabtu (16/9/2023).
Indriyati dan suaminya lantas mencari celah agar anak-anak itu tertarik datang ke sekolah. Setiap akhir catur wulan mereka menggelar panggung perpisahan. Anak-anak nelayan itu diminta tampil.
Anak-anak itu oleh Indriyati diajari menyanyi dan menari. Ketika mentas, para orang tua mereka bisa menonton dengan penuh rasa bangga.
"Nah, di situ ketika orang tua hadir, saya sampaikan pesan-pesan moral dan program pemerintah wajib belajar sembilan tahun. Alhamdulillah sejak itu, makin banyak murid kami di sekolah itu," tambahnya.
![]() |
Tak hanya melalui media acara perpisahan, Haji Darta dan Indriyati juga rajin mendatangi rumah rumah warga yang anaknya belum disekolahkan. Dalam hati Indri, sebenarnya ada hal yang bertolak belakang ketika menyampaikan pesan pendidikan ini. Sebab, penghasilannya sebagai PNS saat itu jauh lebih rendah dibandingkan dengan para nelayan.
Alhasil, mafhum jika para nelayan itu punya pemikiran 'mengapa bersekolah tinggi, jika tanpa sekolah saja penghasilan sudah tinggi?'. Namun sebagai tenaga pendidik, pasutri ini punya banyak cara mengajak anak-anak kembali ke sekolah kepada warga.
Satu di antaranya dengan media dakwah, kewajiban muslim untuk menuntut ilmu yang tinggi. Dan itu sebagai amanah yang harus disampaikan kepada warga sekitar sekolah. Pasutri itu lantas berkolaborasi dengan ulama dan tokoh masyarakat setempat untuk menyebarkan virus kebaikan itu bagi generasi mendatang.
Upaya ini didukung alam. Ketika ekosistem laut dan tambak mulai terganggu dampak tidak pedulinya warga terhadap lingkungan, hasil tambak mereka pelan tapi pasti makin menurun. Penghasilan warga juga mengalami penurunan secara signifikan tiap tahunnya. Warga kini tak bisa jemawa dengan kapasitas yang mereka andalkan sebelumnya.
Mereka mulai berpikir pentingnya pendidikan untuk perubahan pola hidup dan mendapat pekerjaan lain yang mau tidak mau harus mereka hadapi. Budaya warga yang sebelumnya membelanjakan uang untuk kebutuhan tersier mulai bergeser. Mereka lebih mementingkan menyisihkan uang sebagai tabungan membiayai sekolah anak mereka.
"Alhamdulillah murid kami tambah banyak. Anak-anak semangat sekolahnya sangat tinggi. Cuma, anak-anak itu kan meniru orang tuanya. Di rumah tidak ada budaya membaca, kalau orang tuanya juga tidak membaca. Makanya, saat itu kami fokuskan kegiatan anak-anak dengan olah raga dan perpustakaan," ungkap perempuan berusia 52 tahun ini.
Dari prestasi perlombaan yang diraih anak didiknya, nama sekolah di Tani Baru mulai dilirik pemerintah daerah. Berbagai fasilitas penunjang dilengkapi. Seperti pembangunan jembatan untuk memudahkan akses siswa menuju ke sekolah hingga pembangunan gedung sekolah dengan perluasan areal lahan.
Tahun 2007, dibentuk sekolah satu atap TK, SD dan SMP untuk menampung lulusan SD yang melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi. Lulusan terakhirnya tahun 2016, kemudian dibentuk SMA Filial dari SMAN Anggana. Tapi, jumlah tenaga pengajar tidak ditambah. Jadi dari siswa SD sampai SMA hanya memiliki lima tenaga pengajar.
Prestasi yang diraih para siswa Tani Baru menjadi magnet Dinas Pendidikan setempat untuk bergerak menambah fasilitas bangunan dan staf pengajar. Sebuah BUMN yang beroperasi di wilayah itupun memberikan support dengan misi peningkatan kualitas akses dan fasilitas pendidikan. Kolaborasi pemerintah dengan pihak swasta ini mengemban misi penting untuk membangun peradaban intelektual dan pelestarian lingkungan bagi generasi mereka secara berkelanjutan.
Sinergitas ini berkolaborasi dengan Program Indonesia Mengajar mendatangkan tiga tenaga pengajar yang berpengalaman mengajar di wilayah pedalaman. Ada tiga orang tenaga Indonesia Mengajar yang bertugas membantu mengajar dan meningkatkan kapasitas guru dengan mengenalkan komputer dan pelatihan manajemen sekolah. Mereka juga yang menjembatani komunikasi pihak luar, seperti pemerintah dan swasta untuk kemajuan sekolah. Mereka juga melakukan pendampingan bagi lulusan SMA yang ingin melanjutkan ke perguruan tinggi negeri.
"Tahun 2019 itu belum ada lulusan kami yang melanjutkan kuliah. Tapi Alhamdulillah tahun 2020 ada 12 lulusan kami yang berhasil masuk Perguruan Tinggi Negeri dan lolos beasiswa bidik misi. Lalu ada dua siswa menerima beasiswa Sarjana Pesisir," cerita Indriyati penuh rasa bangga.
"Menurut saya, ini investasi jangka panjang juga buat kami. Mereka yang mendapatkan beasiswa ini, jika telah lulus kuliah, bersedia kembali ke sini untuk mengajar di sekolah," sambungnya.
Sinergitas program pengembangan pendidikan berbasis alam ini, dinilai Indri, mengoptimalkan kearifan lokal wilayah pesisir dengan lokasi sekolah yang berada di atas rawa. Sehingga dengan program ini proses belajar mengajar tidak hanya dilaksanakan di dalam ruang kelas, namun juga di luar kelas.
Selain itu, pelatihan mengolah sampah juga diberikan. Selama ini warga pesisir biasa membuang sampah di atas rawa, sehingga berpotensi merusak ekosistem di lingkungan sekitarnya. Tidak ada warga yang punya tempat sampah.
Di sekolah, anak-anak juga membentuk tiga bank sampah. Satu di internal sekolah dan dua di permukiman warga. Setiap berangkat ke sekolah, anak-anak diwajibkan membawa sampah dari rumah mereka untuk kemudian dipilah di sekolah. Setiap akhir pekan, sampah yang telah disortir dibawa ke daratan untuk dijual kepada pengepul.
![]() |
Dari pemasukan inilah pihak sekolah bisa menghemat biaya operasional. Selain itu, ketika ada pelajaran yang lokasinya dekat pantai, setiap siswa wajib membawa bibit mangrove untuk ditanam di depan kelas mereka. Hanya dalam kurun waktu kurang dari lima tahun, sekolah ini tampak hijau dan makin asri. Anak-anak pun makin betah belajar dan meluangkan waktu mereka untuk mendapatkan asupan literasi dari buku bacaan di perpustakaan sekolah.
"Sampah kering juga kami olah menjadi kompos, untuk pupuk tanaman di sekolah kami yang banyak. Siswa juga diajak ekstrakurikuler mengadakan pembibitan dan penanaman mangrove. Dua agenda itu dibiayai dari pembibitan mangrove," ujarnya.
Uangnya itu bisa buat beli dua unit komputer. Pendapatan dari mangrove juga, kami bisa berangkatkan ikut perwakilan lomba LP3 di Kecamatan Anggana . Dana tidak ada dari mana-mana. Di sekolah ini, siswa mulai memahami lingkungan. Anak Tani Baru itu luar biasa. Kami punya jiwa membangun untuk kebersamaan. Tidak adanya anggaran, bukan halangan bagi kami untuk maju,"lanjut Indri.
Kegiatan lain yang berwawasan lingkungan kemudian juga muncul saat pandemi COVID-19. Di mana sarana protokoler kesehatan wajib disediakan di sekolah, yakni wastafel untuk mencuci tangan. Untuk menghemat air bekas cucian, sekolah memanfaatkannya sebagai media menyiram tanaman. Sebab, selama ini, kebutuhan air bersih masih mengandalkan dari menampung air hujan. Sehingga, pemanfaatan air harus seefektif dan seefisien mungkin dilakukan.
Sementara itu, tanggung jawab sosial BUMN yakni dengan membuat instalasi pembuangan air bekas cuci tangan, dengan pipanisasi yang langsung diaplikasikan ke tanaman yang dibudidayakan di sela-sela bangunan sekolah. Penghematan lain juga dilakukan dengan mengaplikasikan panel surya untuk menghasilkan tenaga listrik bagi operasional sekolah.
Untuk memperlancar akses transportasi siswa, sekolah bersinergi dengan BumDes Desa Tani Maju, CSR BUMN memfasilitasi satu unit perahu. Perahu sekolah ini akan menjemput siswa yang tinggal di kepulauan saat jam berangkat sekolah dan mengantarkan mereka kembali ke rumahnya saat jam pulang sekolah. Untuk sekali angkut, siswa membayar Rp 3000.
Sedangkan bagi guru yang memilih tinggal di sekitar lokasi sekolah, dibuatkan bangunan tempat tinggal yang layak. Lantaran semakin banyak jumlah siswa di Sekolah Rawa Hutan, maka ada 18 guru yang yang mendapatkan pelatihan peningkatan kapasitas sebagai Tenaga Guru Bantu di SMPN 4 Anggana dan SMAN 1 Filial Anggana.
Kehadiran sekolah ini telah berdampak positif bagi lingkungan, ekonomi, kesejahteraan dan sosial masyarakat Desa Tani Maju. Dampak positif bagi lingkungan adalah adanya penurunan emisi Co2 dari pemanfaatan energi surya terbarukan.
Rata-rata 1,46 kg Co2 per tahun dan paling banyak mencapai 2,19 kg per tahun. Adanya pengurangan volume sampah dengan pengelolaan bank sampah sekolah. Minimal pengurangan itu sebanyak 24,45 kg per tahun dan maksimal 47,136 kg per tahun.
Penurunan emisi gas methan dari sampah yang dibakar mencapai 1,034 kg CH4 per tahun. Dan penghematan air melalui pemanfaatan IPAL sejak tahun 2018 yang mencapai angka 82.680 liter per tahun .
Sedangkan dampak ekonominya, estimasi peningkatan pendapatan sekolah melalui pengelolaan Bank Sampah, rata-rata sebanyak Rp 623.486 per tahun. Dan estimasi penghematan biaya listrik untuk operasional sekolah dan pengoperasian komputer melalui pemanfaatan panel surya bisa mencapai Rp 10.335.000 sejak tahun 2018 sampai COVID-19 melanda awal tahun 2020.
"Dampak bagi sosial budaya membuat saya begitu bersyukur, karena angka pernikahan anak menurun drastis. Dari rata-rata 13 per tahun sekarang jadi 3 saja. Itu pun sudah kami sikapi dengan tegas, kami nggak datang kalau diundang pesta pernikahannya. Setiap lulusan anak SMP, 90 persennya melanjutkan ke SMA. Lulus SMA baru mereka menikah," tandasnya.
Tahun 2021, menjadi awal perjalanan baru bagi Indriyati. Ia harus meneruskan perjuangan mengajar sendiri, usai sang suami tercinta meninggal dunia. Padahal nama Haji Darta telah masuk nominasi penerima penghargaan Kalpataru atas kontribusinya menjaga lingkungan. Namun hal ini tidak mengurangi rasa bahagia Indriyati melihat anak-anak didiknya bisa menggapai cita-cita mereka untuk meneruskan jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Salah satu siswinya yang membuatnya tetap bahagia adalah Reski Herawati. Alumnus sekolah di area rawa ini sekarang tercatat sebagai mahasiswi jurusan Pendidikan Matematika di Universitas Negeri Mulawarman.
Reski merupakan generasi kedua dari keluarga besarnya yang punya prinsip kuat untuk kuliah. Walaupun keluarga besarnya sebagian tidak mendukung, Resti tak pernah goyah untuk menempuh pendidikan tinggi. Hal langka yang dilakukan perempuan di Desa Tani Baru.
![]() |
Baca juga: 4 Tanda Akan Masuk Musim Hujan |
Salah satu alasan mereka tidak mendukung adalaj tidak ada biaya karena hasil panenan tambak makin menurun. Namun, tekad kuat Reski sudah terpupuk sejak SMP. Dia pun belajar keras hingga kerap mendapatkan penghargaan dalam kejuaraan science dan matematika saat SMP dan SMA.
Prestasinya inilah yang memuluskan jalannya lolos mendapatkan beasiswa Sarjana Pesisir. Reski tidak pernah rendah diri ketika bergaul dengan teman kuliahnya yang notabene anak kota. Sebab, ilmu pengetahuan dan wawasan yang diperolehnya selama menjadi siswa di Sekolah Rawa Hutan sudah se-frekuensi dengan kapasitas anak kota.
"Saya ingin sampaikan ke warga sana bahwa perempuan itu harus menuntut ilmu. Perjalanan hidup seorang perempuan dari daerah terpencil tidak harus selamanya berakhir di dapur. Perempuan harus berpendidikan tinggi untuk masa depannya yang lebih maju dan untuk mendidik anak-anaknya kelak agar menjadi manusia yang lebih berkualitas secara norma dan agama," tutur Reski.
Alumni lainnya adalah Ismawati yang sekarang kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Mulawarman. Bagi Ismi, pengalaman bersekolah di SMAN 1 Filial Anggana tak akan dilupakan. Dia bahkan bertekad untuk kembali ke sekolah itu membantu mengajar adik-adik kelasnya untuk mencapai paradaban intelektual yang lebih maju.
Sekolah itu membuat gadis 21 tahun ini sangat tertantang. Sebab, dia harus tinggal berjauhan dengan keluarga besarnya di Gorontalo, Sulawesi Utara. Isma ikut keluarga pamannya yang tinggal di Muara Pantauan karena di kampung halaman ayahnya tidak ada lembaga pendidikan setingkat SMA.
Dulu, untuk menuju sekolah, Isma harus mengayuh sepeda milik sepupunya dengan kondisi jalan bak naik roler coaster. Waktu tempuh menuju sekolah, biasanya butuh satu jam perjalanan. Tapi jika sepeda kayuhnya rusak atau ban rodanya gembos, Isma terpaksa berjalan kaki.
Bulan pertama dia hampir patah semangat karena merasa capek di perjalanan berangkat dan balik sekolah. Namun, keluarganya di Gorontalo memberi semangat luar biasa, mengingat Isma harus hidup berjauhan sehingga harus sukses menempuh pendidikan.
Isma pada awalnya belum punya cita-cita untuk menempuh kuliah. Namun, motivasi guru-guru penggerak membuka perspektif berpikirnya untuk membuka luas peluang hidupnya. Apalagi dia juga diberi kesempatan untuk kuliah gratis melalui program beasiswa Sarjana Pesisir. Dari sekolah yang berdiri di atas rawa-rawa itu, Ismi memetik pelajaran hidup yang sangat berharga. Bahwa sesuatu yang diperjuangkan dengan ilmu, akan mampu menaikkan derajat peradaban kehidupan seseorang.
"Makin lama makin asyik sekolah di sana. Setiap kami ingin sesuatu, kami diajarkan untuk berjuang dulu. Tidak seperti anak kota yang kalau mau apa saja sudah tersedia. Saya jadi merasakan kepuasan yang berbeda ketika mendapatkan sesuatu dengan berusaha sendiri dulu," sebutnya.
Dia menyebut guru-guru penggerak juga sangat memotivasi siswa untuk maju. Dulu di Sekolah Rawa Hutan, Isma merasakan banyaknya kekurangan karena terbatasnya SDM dan prasarana.
"Cita-cita saya sekarang, saya harus lulus dengan nilai baik dan saya akan kembali ke Sekolah Rawa Hutan untuk mengisi kekurangan-kekurangan itu. Bismillah...Walaupun berat ke lokasinya, tapi ini amanah untuk ibadah berbagi ilmu," tukasnya.
(dpe/dte)