Tak ada satu pun penjual nasi di Desa Randegan, Kecamatan Tanggulangin, Sidoarjo. Warga percaya, siapapun yang berani menjual nasi, harus berani pula berhadapan dengan ganjaran maut yang menanti.
Pantangan berjualan nasi ini pun masih dipertahankan hingga kini. Mereka yang melanggar pantangan memang terbukti kena dampaknya. Salah satunya, kisah tentang penjual nasi goreng yang mengalami kejadian di luar nalar.
Di sepanjang jalan Tanggulangin hingga Tulangan di Desa Randegan, memang tidak ditemukan warung penjual makanan seperti nasi rawon, nasi soto, hingga nasi goreng (nasgor).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebagian besar warga penjual makanan di Desa itu memilih makanan olahan selain nasi seperti lontong atau makanan lain dan selain rujak ulek yang juga menjadi pantangan.
Warga RT 3, RW 1 di Desa Randegan, Sholkan menceritakan salah satu peristiwa yang benar-benar terjadi tentang warga desa lain yang nekat melanggar pantangan tersebut.
Saat itu, sekitar tahun 2002 ada warga pendatang dari daerah lain berjualan nasgor di pinggir jalan. Warga setempat sudah mengingatkan, tapi orang itu tidak percaya.
"Tiga hari berikutnya, saat penjual nasi goreng itu sedang sibuk melayani pembeli, tiba-tiba gerobaknya terbakar. Bahkan penjualnya lari terbirit-birit," ujar Sholkan.
Warga Randegan lainnya, Anik membenarkan tentang pantangan tersebut. Dia sendiri enggan melanggar karena hal itu akan membawa sial.
"Menurut ceritanya apabila ada yang berjualan nasi kehidupannya akan sial terus, bahkan rumah tangganya tidak harmonis. Saya tidak berani melanggar," katanya.
Kisah lainnya diceritakan oleh Suyadhim, juru kunci makam pembabat alas desa setempat yang dikenal dengan Mbah Sosro. Yakni cerita tentang penjual nasi bebek.
"Banyak warga desa lain tidak percaya cerita itu, bahkan dianggap mistis. Ada yang nyoba jual nasi bebek. Nggak ada 1 bulan dia kabur, katanya nasinya tiba-tiba basi," terang Suyadhim.
Pantangan itu, menurutnya, bahkan berlaku bagi warga Desa Randegan yang tinggal di desa lain. Mereka yang nekat berjualan makanan yang melibatkan nasi hidupnya sengsara.
"Pernah terjadi salah satu warga Desa Randegan ini menikah dengan warga desa lain. Kemudian mencoba jualan nasi di daerah lain, kehidupannya gagal," ujarnya.
Meski warga itu pada akhirnya tinggal di desa lain usaha yang dia jalani tidak bisa berjalan langgeng. Bahkan warga itu sampai harus bercerai dengan istrinya.
"Sudah ada buktinya. Makanya warga sini meski sudah pindah tetap tidak berani jualan nasi. Ada yang mencoba melanggar pantangan akhirnya cerai sama istrinya," kata Suyadhim.
Konon, kata Suyadhim, Mbah Sosro sebagai pembabat alas desa setempat pernah meminta anak cucunya agar tidak berjualan nasi. Sebab, penjual nasi pada saat itu nasibnya susah dan menyedihkan.
Namun, cerita yang sebenarnya seperti apa, Suyadhim sendiri tidak mengetahui secara pasti. Dia hanya mendengar kisah tentang Mbah Sosro itu dari juru kunci sebelum dirinya.
"Dari cerita juru kunci sebelumnya, beliau almarhum ini tidak rela bila warga Desa Randegan bekerja sebagai penjual nasi," tukas Suyadhim.
Pantauan detikJatim di sepanjang jalan dari arah Tanggulangin hingga Tulangan di desa tersebut, memang ada sejumlah warung yang ditemukan, tapi tidak satu pun yang menjual nasi. Ada warung lontong tahu, ada juga warung lontong mie, tapi tidak ada warung nasi.
(hil/fat)