Matahari Dililit 'Ular' Raksasa, Tanda Kiamat Internet Datang Lebih Cepat?

Kabar Internasional

Matahari Dililit 'Ular' Raksasa, Tanda Kiamat Internet Datang Lebih Cepat?

Devita Savitri - detikJatim
Sabtu, 15 Jul 2023 15:39 WIB
Ular  Matahari
'Ular' raksasa tertangkap sedang melilit matahari. (Foto: ESA & NASA/Solar Orbiter/EIU Team, acknowledgement Frederic Auchere, IAS)
Surabaya -

Fenomena matahari dililit 'ular' raksasa tertangkap Solar Orbiter Badan Antariksa Eropa. Bukan 'ular' secara harafiah, fenomena itu datang karena adanya proses energi yang intens di atmosfer Matahari.

Beberapa waktu sebelumnya, Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA) memprediksi terjadinya kiamat internet pada 2025 akibat badai matahari. Apakah 'ular' raksasa yang melilit matahari itu menandakan kiamat Internet datang lebih dini?

Seperti diketahui, imbas dari badai matahari sesuai yang diprediksi NASA akan berpotensi melumpuhkan layanan telekomunikasi, khususnya internet, yang saat ini sudah menjadi bagian dari aktivitas manusia.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dilansir dari detikEdu mengutip CNBC Indonesia, Sabtu (15/7/2023), 'ular' raksasa yang melilit matahari itu adalah gas hasil proses energi intens akibat tembakan tabung gas atmosfer oleh medan magnet Matahari.

Solar Orbiter adalah misi luar angkasa kolaborasi internasional antara Badan Antariksa Eropa (ESA) bersama NASA. Misi ini diluncurkan pada 10 Februari 2020. Solar Orbiter menangkap gambar selama tiga jam yang memperkirakan 'ular' itu bergerak dengan kecepatan 170 kilometer per detik.

ADVERTISEMENT

Namun, dikutip dari European Space Agency (ESA), fenomena ini bukan hal baru dan tidak sama dengan badai matahari yang akan melumpuhkan internet seperti yang dimaksud NASA. 'Ular' itu pernah terlihat pada 5 September 2022 saat Solar Orbiter mendekati Matahari.

Lantas bagaimana bisa 'ular' raksasa itu bergerak seolah melilit matahari? Begini penjelasannya.

Sebab Pergerakan 'Ular' Raksasa Melilit Matahari

Seluruh gas di atmosfer Matahari disebut plasma. Permukaan Matahari memiliki suhu mencapai lebih dari 1 juta derajat celcius dan menyebabkan elektron terlepas dari atom. Meski begitu, di beberapa bagian permukaan Matahari ada daerah yang lebih dingin. Nah, 'ular' itu terbentuk pada bagian plasma ini.

David Long, pemimpin penelitian tersebut yang memperhatikan fenomena ini menjelaskan plasma dingin mengalir dari satu sisi ke sisi lainnya. Inilah yang terlihat seperti melintasi permukaan.

"Anda mendapatkan plasma mengalir satu sisi ke sisi lain, namun medan magnetnya benar-benar acak. Jadi Anda mendapatkan perubahan arah ini karena kami melihat ke bawah pada struktur yang bengkok," jelas peneliti dari Mullard Space Science Laboratory (UCL), Inggris.

Titik asal 'ular' dan filamen yang meledak dikenal sebagai coronal mass ejection. Ledakan ini kemudian terdeteksi oleh Energetic Particle Detector (EDP) di pesawat ruang angkasa. David menjelaskan peristiwa ini menjadi letusan partikel energi matahari paling intens yang pernah tercatat.

Dampaknya Terhadap pada Bumi

Karena disebut letusan paling intens yang pernah tercatat, coronal mass ejections yang menghantam Bumi bisa menyebabkan badai geomagnetik. Namun hal ini tidak terjadi. Letusan itu hanya menyapu Parker Solar Probe milik NASA yang justru sesuai dengan harapan, karena dampak hantaman itu justru bermanfaat untuk mengukur letusan.

Tak hanya itu, sampel gas yang menghantam Parker Solar Probe milik NASA itu bisa dipakai sebagai bahan penelitian lebih lanjut yang memungkinkan pemahaman yang lebih baik tentang aktivitas matahari dan terbentuknya 'cuaca antariksa' yang mungkin di kemudian hari bisa mengganggu satelit dan teknologi lain di Bumi.

Badai matahari yang menyebabkan kiamat internet. Baca di halaman sebelumnya.

Sebelumnya, NASA memprediksi terjadinya badai matahari pada 2025 yang berpotensi melumpuhkan layanan telekomunikasi, khususnya internet, yang saat ini sudah menjadi bagian dari aktivitas manusia.

"Karena angin yang dihasilkan badai matahari di dekat matahari, dampak atmosfer berpotensi dirasakan di Bumi. Suar matahari dan pelepasan massa korona mendorong badai, yang melepaskan partikel matahari dan radiasi elektromagnetik ke planet kita," ujar NASA dikutip detikInet dari USA Today, Jumat (7/7/2023).

Coronal mass ejection (CME) atau lontaran massa korona, kata NASA, akan meningkat pada puncak siklus 11 tahunnya, yang mana itu terjadi pada 2025.

Dampak lontaran massa korona itu akan mempengaruhi layanan yang saat ini banyak dimanfaatkan umat manusia seperti sinyal satelit, komunikasi radio, internet, navigasi global positioning system (GPS), hingga jaringan listrik.

Potensi badai matahari memicu kiamat internet sangat kecil, tetapi menurut sebuah penelitian, ancaman itu tidak bisa diremehkan.

Sangeetha Abdu Jyothi, seorang pakar ilmu komputer di University of California menyimpulkan dalam studi yang diterbitkan pada 2021, ada kemungkinan 1,6% sampai 12% gangguan jangka panjang terjadi pada dekade berikutnya karena badai matahari.

Risiko kiamat internet dapat meruntuhkan ekonomi Amerika Serikat yang lebih tinggi daripada di Asia, yakni bisa mencapai USD 7 miliar per hari.

Selama bertahun-tahun sebelumnya, NASA terus mencari jalan keluar dari prediksi ancaman kiamat internet pada 2025, salah satunya dengan meluncurkan wahana antariksa pada 2018 untuk mendekati permukaan matahari.

Halaman 2 dari 2
(dpe/iwd)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads