2,9 Juta Warga Indonesia Stroke Per Tahun, Gaya Hidup Jadi Salah Satu Pemicu

2,9 Juta Warga Indonesia Stroke Per Tahun, Gaya Hidup Jadi Salah Satu Pemicu

Esti Widiyana - detikJatim
Selasa, 30 Mei 2023 17:26 WIB
dokter spesialis bedah saraf RS Mitra Keluarga Surabaya dr Nur Setiawan Suroto SpBS (K)
Ketua PNNLS dr Agus Chairul Anab (Foto: Esti Widiyana)
Surabaya -

Dari 276,4 juta penduduk di 38 provinsi di Indonesia, 2,9 juta jiwanya mengalami stroke per tahun. Salah satunya karena gaya hidup.

"Angka kejadian stroke mencapai 10,9 per 1.000 penduduk atau sekitar 2,91 juta penduduk per tahun. Cedera otak dan saraf mencapai 7,5%," kata dokter spesialis bedah saraf RS Mitra Keluarga Surabaya dr Nur Setiawan Suroto SpBS (K) saat ditemui detikJatim di RSU dr Soetomo, Selasa (30/5/2023).

dr Iwan sapaan akrabnya mengatakan ada tiga ciri untuk mendeteksi dini stroke. Caranya dengan metode Face, Arm, Speech, Time (FAST).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Face, mukanya simetris, berubah atau tidak. Kalau perot, satu sisi misalnya, ya curiga stroke," ujarnya.

Selain mengalami perubahan secara tiba-tiba di wajah yang tidak simetris, ciri lainnya bisa terlihat pada lengan. Dalam medis menyebutnya lumpuh separuh atau tangannya melemah.

ADVERTISEMENT

Dari gaya bicara, penderita stroke juga akan mengalami perlahan menjadi tidak jelas. Seperti tiba-tiba pelat juga menjadi gejala awal.

Ia mengatakan jika seseorang sudah mengalami semua gejala atau ciri, maka harus segera dibawa ke RS. Agar lebih cepat mendapatkan penanganan lebih lanjut supaya tidak memperparah keadaan.

Dari banyaknya kasus yang ditanganinya, dr Iwan menyebut penderita stroke rata-rata menyerang pada usia lanjut. Tetapi tidak menutup kemungkinan pada usia lebih muda dengan pola gaya hidup tidak sehat.

"Tidak menutup kemungkinan akan menyasar usia muda. Kebiasaan makanan, suka makan terlalu asin, minum kopi. Kurang istirahat, kadang-kadang hidup di kota terutama kan begadang. Apalagi olahraga juga gak pernah," jelasnya.

Berkaca dari tingginya kasus stroke dan terus meningkat tiap tahun, Iwan menyebut dokter terutama di ruang Instalasi Gawat Darurat (IGD) harus mampu menangani pasien dengan baik dan cepat. Pemerintah juga menjadikan fokus perhatian pelayanan stroke.

"Karena di Indonesia masih banyak. Artinya stroke di IGD itu perlu ditangani baik dan cepat. Maka bisa menyelamatkan sel saraf yang masih berfungsi. Tapi kenyataannya, seringkali pasien-pasien ketika datang di IGD tidak menjadi prioritas. Artinya kalau sudah lemah separuh obatnya biasa," urainya.

Sementara hasil evaluasi Perhimpulan Spesialis Bedah Saraf Indonesia (PERSPEBSI), belum ada pelatihan bagi dokter mengenai penanganan pertama sejumlah penyakit gawat darurat saraf atau neuroemergency yang berisiko tinggi kematian.

Dokter Joni Wahyuhadi Ketua Umum PERSPEBSI menginisiasi pelatihan Prinary Neuroemergency and Neurosurgical Life Support (PNNLS) yang melibatkan lima spesialis sekaligus. Mulai bedah saraf, saraf, radiologi, anestesi, dan neurologi anak.

"Jadi selama ini proses pelatihan itu sudah ada standar, tapi kita ingin menyempurnakan standar itu lebih tepat dengan multidisiplin. Kita berupaya membuat standarisasi pelatihan, kalau tata pelaksanaan masing-masing penyakit sudah ada. Tapi, standarisasi training agar sampai ke dokter umum, agar punya kapasitas penanganan, itu yang belum ada. Di mana standar ini kita gak bisa sendirian," kata Ketua PNNLS dr Agus Chairul Anab.

Dengan standarisasi pelatihan berbagai dokter spesialis, penanganan pasien di IGD bisa mengurangi angka kegagalan dan kecacatan. Di mana pasien yang datang di emergency bisa terdeteksi.

"Tiba-tiba gak sadar. Bisa stroke, bisa trauma, bisa epilepsi, dan sebagainya. Di sini, kita coba berpikir global. Apapun penyebabnya, dia datang ke emergency dalam keadaan problem di otak dan tulang belakang. Kami, dari bedah saraf menginisiasi tapi tidak bisa sendiri. Harus multidisiplin kita gandeng yang subnya brain atau neuro dan spinal. Harapannya dengan project ini akan mengurangi angka kegagalan dan kecacatan," pungkas dokter spesialis bedah saraf dr Farhad Balafif.




(esw/iwd)


Hide Ads