Lumpur Lapindo di Porong, Sidoarjo telah menyembur selama 17 tahun. Selama itu pula, warga sekitar semburan merasakan nelangsa. Bahkan, Lumpur Lapindo mengubah wajah kawasan Porong bak kota mati.
Semburan Lumpur Lapindo terjadi di Kelurahan Siring, Kecamatan Porong, Sidoarjo pada 29 Mei 2006. Peristiwa itu menyisakan kesedihan mendalam bagi warga yang terusir dari desanya.
Berikut sederet fakta 17 tahun semburan lumpur Lapindo ciptakan kota mati:
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
1. Porong Jadi Kota Mati
Dampak semburan Lumpur Lapindo, ribuan warga dari belasan desa di tiga kecamatan, yakni Kecamatan Porong, Jabon, dan Tanggulangin terpaksa meninggalkan desa.
Tidak hanya itu, mereka juga harus meninggalkan mata pencarian masing-masing. Hal ini bisa disaksikan dari semakin banyaknya toko di sepanjang jalan yang tutup.
"Sebelum munculnya semburan Lumpur, di kanan kiri Jalan Raya Porong Lama ini mulai dari Tugu Kuning ke arah Malang banyak pedagang kali lima. Ada ratusan pedagang yang berjualan di sepanjang jalan ini. Sekarang tidak ada sama sekali, seperti kota mati saat malam hari," kata Samsul Hadi, Senin (29/5/2023).
Samsul bertahan membuka usaha warung kopi di jalanan itu. Hanya dirinya satu-satunya pengusaha warung kopi yang masih bertahan setelah 41 tahun menjalankan usaha.
Dia telah membuka warkop itu sejak proses pembangunan jalan tol Surabaya-Gempol tahun 1982. Saat itu omzet setiap harinya lumayan besar. Dia bahkan memiliki 3-5 karyawan.
"Kalau sekarang sehari untung Rp 100 ribu sudah bagus. Warkop yang dulunya permanen sekarang bongkar pasang. Kalau nggak jualan mau makan apa? Ya, saya syukuri saja," ujarnya.
![]() |
2. Perekonomian Warga Terdampak
Pantauan detikJatim di Jalan Raya Porong lama, memang cukup banyak toko-toko yang tutup. Di antaranya toko konveksi, toko elektronik, apotek, juga toko onderdil mobil.
Camat Porong Choirul Anam membenarkan perekonomian di Kecamatan Porong terimbas lumpur Lapindo. Ratusan warga Porong banyak yang relokasi baik mandiri maupun bersama-sama.
"Dampak semburan lumpur banyak masyarakat Porong yang pindah ke daerah lain. Otomatis penduduknya berkurang, yang jelas putaran ekonomi juga menurun," kata Choirul.
Ia mengakui sejumlah toko di sepanjang jalan Raya Porong lama banyak yang tutup. Tetapi pihaknya tidak memiliki data yang kongkrit berapa jumlahnya.
"Memang benar banyak toko yang tutup, namun kami belum tahu jumlahnya," tandas Choirul.
3. Objek Wisata Lumpur Juga Sepi
Setelah beberapa tahun, tepatnya pada 2010, SBY mengusulkan lokasi lumpur itu dicanangkan sebagai objek wisata geologis. Namun kini, objek wisata ini sepi. Para warga pun makin nelangsa.
Mulanya, wisata lumpur Lapindo itu membawa berkah bagi sebagian warga terdampak yang kehilangan pekerjaan atau usahanya tumbang. Dengan suka cita mereka menjadi pemandu wisata. Mereka jajakan jasa mengantar wisatawan keliling lokasi lumpur sembari menjual video dokumenter lumpur Lapindo.
Salah satu warga korban lumpur asal Kelurahan Jatirejo, Kecamatan Porong bernama Sastro (50) merupakan salah satu warga yang mula-mula menjadi pemandu wisata sejak 2008. Dia mengakui, pada tahun-tahun awal itu penghasilan dari wisata lumpur cukup menjanjikan.
Bahkan, menurutnya, berkah dari wisata lumpur Sidoarjo itu cukup panjang. Dia mampu menggaet untung antara Rp 300 ribu hingga Rp 400 ribu per hari sejak 2008 hingga 2018 karena masih cukup banyak masyarakat yang penasaran untuk berwisata di lumpur Lapindo.
Seiring berjalannya waktu, pada 2023 atau 17 tahun setelah lumpur Lapindo menyembur ini, penghasilan dari pemandu wisata lumpur tidak bisa lagi diandalkan. Penurunan pendapatan itu terasa begitu drastis.
"Kalau sekarang hanya mendapatkan Rp 60 ribu per hari, kadang malah nggak sampai segitu. Sepi," kata Sastro ketika ditemui detikJatim di atas tanggul penahanan lumpur, Senin (29/5/2023).
Kisah pemilik pabrik kini jadi karyawan biasa buntut semburan lumpur Lapindo. Baca di halaman selanjutnya!
4. Banyak yang Kehilangan Pekerjaan
Banyak warga korban lumpur Lapindo terpaksa kehilangan pekerjaan karena tempat mereka bekerja di desa turut terimbas lumpur. Bahkan, salah satu pemandu wisata bernama Nartaji (52) mengaku sebelumnya dia memiliki bengkel sendiri.
Korban lumpur asal Kelurahan Jatirejo itu mengatakan bahwa setelah terjadinya semburan lumpur, banyak masyarakat yang kehilangan mata pencarian.
"Sebelum munculnya semburan lumpur saya wirausaha mendirikan bengkel. Namun setelah desanya tenggelam oleh lumpur mencoba mencari nafkah menjadi pemandu wisata. Tapi saat ini penghasilannya tidak bisa untuk mencukupi keluarga," tandas Nartaji.
5. Puluhan Perusahaan Terimbas
Tidak sedikit bangunan milik perusahaan di sekitar semburan lumpur itu turut tenggelam. Setidaknya, ada 31 perusahaan yang tenggelam imbas semburan lumpur hingga saat ini belum pernah mendapatkan ganti rugi. Padahal, korban lumpur dari kalangan pengusaha telah mendapat jaminan Surat Keputusan dari MK Nomor 83 Tahun 2013.
"Pemerintah sempat melaksanakan dikotomi, yang dibayar hanya warga, tapi untuk perusahaan belum dibayar ganti ruginya," ujar Marcus Johny Rany (62), salah satu pengusaha yang dulu merupakan pemilik PT Orental Samudera Karya, Senin (29/5/2023).
Saat ditemui detikJatim, Johny mengatakan bahwa hingga saat ini 31 perusahaan termasuk miliknya belum pernah mendapatkan ganti rugi. Dia sebutkan bahwa total ganti rugi yang seharusnya didapatkan 31 perusahaan itu mencapai Rp 800 miliar.
Nihilnya ganti rugi atas aset perusahaannya yang ditelan lumpur membuat nasibnya benar-benar berubah. Ketika tanggul lumpur yang ada di depan pabriknya makin kritis, dirinya merelakan halaman pabriknya untuk menampung lumpur demi menyelamatkan rel kereta api, Jalan Raya Porong, serta permukiman penduduk.
Lantaran tak juga menerima ganti rugi, sementara seluruh aset perusahaannya telah tenggelam ditelan lumpur, dengan terpaksa Johny bekerja ikut perusahaan lain sebagai seorang karyawan biasa demi bisa bertahan hidup. "Dulu kami memiliki perusahaan, karena dampak lumpur, sekarang kami menjadi pekerja perusahaan," kata Johny.
6. Pengusaha Jadi Karyawan Biasa
Nasib yang tidak jauh berbeda dialami Andi Susilo. Dahulu, sebelum lumpur Lapindo menyembur dia merupakan seorang pengusaha pemilik PT Yama Indho Perkasa yang berlokasi di Kedung Bendo, Kecamatan Tanggulangin, Sidoarjo.
Andi mengatakan, dirinya juga merupakan satu di antara puluhan pengusaha yang menjadi korban lumpur Lapindo. Perusahaan miliknya telah tenggelam. Tapi hingga saat ini proses ganti rugi tak kunjung direalisasikan.
"Kami ini warga korban lumpur, hingga saat ini ganti ruginya belum dibayar. Apa bedanya pemilik perusahaan dengan warga? Menurut kami tidak ada bedanya. Apalagi MK telah memutuskan bahwa pemerintah harus menyelesaikan proses ganti rugi korban lumpur," kata Andi.
Dia mengakui bahwa semburan lumpur Lapindo itu merupakan bencana bagi banyak orang. Sebagai salah satu korban lumpur, dia pun perlu melakukan sesuatu untuk menyambung hidup sehingga harus rela menjadi karyawan pabrik perusahaan milik orang lain.
"Karena dampak ganti rugi belum terbayar, yang dulunya kami pemilik perusahaan saat ini kami menjadi pekerja di salah satu perusahaan. Saya harus melakukan itu untuk menyambung hidup," kata Andi.