Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi buka suara terkait kasus pelecehan seksual terhadap pelajar. Pada momen Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) ini, Eri menyebut bahwa sekolah tidak bisa disalahkan atas kasus pelecehan seksual yang menimpa pelajar.
"Di sekolah, pelecehan seksual tidak ada, yang ada itu di rumah tanpa pengawasan orang tua. Anak'e moleh dolan bengi, dolan ambek koncoe lanang, metu tidak dipantau (anaknya pulang main, main sama teman pria, keluar tidak dipantau) malam. Kembali lagi ini adalah orang tua, jangan salahkan pendidikannya. Karena apa? Pendidikan yang paling utama seorang anak di dalam keluarga," kata Eri kepada wartawan di Balai Kota, Selasa (2/5/2023).
Oleh karena itu, lanjut Eri, dalam ajaran Muslim, keluarga sakinah mawaddah warrahmah ialah keluarga yang orang tuanya sayang kepada anaknya. Sebaliknya, ketika anaknya pulang malam dicari, bukan menyalahkan pendidikan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sehebat apapun pendidikan di negara ini di kota ini, sehebat apapun gurunya kalau orang tua tidak ada ikatan kasih sayang dengan seorang anak maka akan terus terjadi. Ini tidak bisa digebuk semua. Dari 3,2 juta warga di Surabaya, satu dua tiga anak yang begitu menyamaratakan pendidikan di Kota Surabaya seperti itu," ujarnya.
Ia lalu menegaskan bahwa kasus pelecehan atau pemerkosaan bukan salah sekolah. Namun, harus kembali ke masing-masing individu.
"Pelecehan seksual terjadi karena diri kita sendiri. Misal metu mbek koncoe dikeki ngombe (misal keluar sama teman dikasih minuman keras), terus jadi pelecehan seksual, itu karena bukan di sekolah. Masio dikandani lek (meski sudah diberitahu) tetap saja tidak memiliki akhlak yang kuat, tidak ada kekuatan seorang ibu dan ayah di diri anak untuk ada kedekatan keluarga akan terjadi terus. Maka itu pendidikan keluarga yang kita lakukan di Puspaga sambil mengatakan kasih sayang orang tua sangat berarti kepada anak," jelasnya.
Ia menyebut sebenarnya di sekolah sudah ada kurikulum tentang seksual. Tetapi, menurutnya yang berperan adalah dalam hal ini ialah keluarga sendiri.
"Kalau kurikulum pendidikan seksual sudah ada, karena ada pancasila pendidikan agama di sana sudah disampaikan mana-mana yang diperbolehkan, mana yang tidak, tapi kembali lagi tidak bisa dikatakan pendidikan.
"Karena kekuatan ini adalah kekuatan keluarga. Seorang anak iku nurute nak wong tuo (seorang anak itu nurutnya ke orang tua) 90 persen, pasti ke orang tua, tidak ke guru. Makanya, ayo bareng ayo sinergi kolaborasi antara orang tua dan guru. Maka pendidikan keluarga itu penting," tandas Eri.
(abq/dte)