Hari ini Kota Malang merayakan hari jadi ke-109 tahun. Ada dua penyakit akut yang harus segera diselesaikan bagi kota terbesar kedua di Jawa Timur ini. Yakni banjir dan macet.
Terakhir, banjir menggenangi hampir seluruh wilayah kota akibat hujan dengan intensitas tinggi akhir bulan lalu. Pemerintah Kota Malang pun dinilai kurang serius dalam menangani banjir, terutama di saat musim penghujan.
Pakar Tata Kota dari Universitas Brawijaya Agus Dwi Wicaksono meminta Pemkot Malang mengembalikan fungsi ruang terbuka hijau atau RTH. Karena sampai hari ini, jumlah RTH di Kota Malang belum mencapai 30 persen sesuai amanat undang-undang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Untuk RTH misalnya, Kota Malang itu masih belum. Artinya mencukupi jumlah RTH yang diamanatkan oleh undang-undang. Yakni RTH minimal 30 persen, dengan perincian 20 persen RTH publik dan 10 persen RTH privat," ujar Agus kepada detikJatim, Sabtu (1/4/2023).
Dengan begitu, kata Agus, Pemkot Malang harus mengembalikan ruang terbuka hijau sebagaimana fungsinya. Jika ingin benar-benar serius dalam menanangani persoalan banjir yang selama ini belum tertuntaskan.
"Jadi harus dikembalikan ruang terbuka hijau itu, karena dapat berfungsi sebagai area resapan air. Karena juga banyak area yang diaspal atau tertutup cor, sehingga tidak lagi berfungsi sebagai resapan air," sambungnya.
Agus mengungkapkan, bahwa penanganan banjir tidak cukup hanya dengan melakukan normalisasi drainase atau saluran gorong-gorong saja. Melainkan harus diimbangi dengan cara lainnya, yaitu memperbanyak adanya sumur resapan atau sumur biopori.
Menurut Agus, konsep sumur resapan masih ideal untuk diterapkan di wilayah Kota Malang, dimana secara geografis merupakan dataran tinggi. Adanya sumur resapan akan membantu mengurangi debit air hujan sebelum kemudian mengalir ke drainase ataupun gorong-gorong.
"Karena jika hanya mengandalkan drainase saja, debit air tidak terkurangi. Maka wilayah terendah akan terjadi banjir, karena drainase tak mampu menampung debit air.Jika ada sumur resapan dan jumlahnya banyak, maka akan membantu mengurangi debit air," tuturnya.
Di luar itu, lanjut Agus, Pemkot Malang juga perlu menggandeng banyak pihak dalam menuntaskan persoalan banjir. Termasuk memberikan edukasi sekaligus menyadarkan masyarakat untuk mengubah perilaku membuang sampah di sembarang tempat.
"Pemkot Malang harus menggandeng banyak pihak dalam menanggani persoalan banjir. Akademisi, media, kelompok masyarakat juga perlu dilibatkan, khususnya mengubah perilaku masyarakat untuk tidak membuang sampah sembarangan. Karena masalah banjir bukan hanya soal cuaca atau alam, tapi ulah manusia juga menjadi salah satu penyebabnya," ungkapnya.
Dampak perubahan iklim dan bencana hidrometeorologi tidak bisa diambil sebagai alasan logika kebijakan. Menurut Rachmad, alasan itu tidak bisa dijadikan pegangan karena pemerintah memiliki tanggungjawab untuk mencari solusi.
"Kalau bicara politik pengetahuan mengenai kebencanaan, mungkin sedunia sudah kompak, banjir itu intensitas air tinggi karena bencana hidrometeorologi. Jadi, dimunculkan akibat dari perubahan iklim. Nah, nampaknya semua pengambil kebijakan merasa itu alasan yang tepat, selain itu juga terlihat ada ketidakberdayaan. Itu yang sering digunakan alasan sehingga masyarakat tidak bisa mengontrol dan evaluasi kinerja yang dilakukan pemerintah selama ini," katanya terpisah.
Jika Pemkot Malang sudah merasa optimal atas capaian penanganan banjir saat ini, itu Rachmad menyebut bahwa itu menunjukan pemerintah tidak tanggungjawab. Pemkot Malang diharapkan bisa menjelaskan ke publik terkait hal apa saja yang telah mereka lakukan untuk menangani banjir.
"Kita sudah tidak memiliki kearifan lokal pada air, jangan salahkan air. Selama ini kita tidak pernah memberikan kearifan, semua digunakan untuk kepentingan manusia. Jalan di kota kan tidak memperhatikan jalan air, semua dicor, jadi tempat parkir, ya sulit bisa dikontrol. Titik resapan kurang, jalannya air seperti selokan, ditutup, dipaving. Air tak bisa kemana-mana," pungkasnya.
Persoalan banjir merupakan penyakit akut pembangunan Kota Malang ini secara terus menerus menjadi sorotan DPRD Kota Malang. Dewan mencatat ada 26 titik banjir yang terjadi ketika hujan deras, padahal anggaran penanganan banjir sudah menjadi desain prioritas pembangunan Kota Malang. Kebijakan berupa program Gerakan Angkat Sampah dan Sendimen (GASS) dinilai belum mampu menjawab permasalahan banjir yang terjadi selama ini.
Di sisi lain, Pemkot Malang telah membuat masterplan penanganan banjir melalui pembangunan drainase di sejumlah titik, seperti di Jalan Jupri, Jalan Raya Dieng serta kawasan Galunggung. Wali Kota Malang Sutiaji menyatakan, telah meminta dukungan Pemerintah Propinsi Jawa Timur dalam menuntaskan persoalan banjir.
Pemprov Jatim diharapkan dapat menjadi jembatan antara tiga kepala daerah di Malang Raya untuk membuat kebijakan yang selaras dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Provinsi Jawa Timur dan RPJM nasional.
Jadi kami sudah bicara dengan Ibu Gubernur untuk minta difasilitasi oleh Bakorwil, agar ada konektivitas pembangunan antar daerah. Jadi tidak ada istilah iki wilayahku (ini wilayahku), iki wilayahmu (ini wilayahmu), karena (air) dari wilayah Kota Malang ke Kabupaten Malang dan sebaliknya," ujar Sutiaji.
Selain banjir, kemacetan juga menjadi tantangan Pemkot Malang untuk segera dapat diatasi. Titik kemacetan yang ada diantaranya Jalan Gatot Subroto, Jalan Muharto, dan Jalan Ranugrati. Sejauh ini, Pemkot Malang belum menjabarkan skenario yang bakal dijalankan untuk mengatasi kemacetan di sejumlah titik tersebut.
Simak Video "Video: Waktu yang Tepat Mengucapkan Subhanallah dan Masyaallah "
[Gambas:Video 20detik]
(mua/iwd)