Eks Wali Kota Blitar M Samanhudi Anwar disangka menjadi informan pelaku perampokan rumah dinas (rumdin) Wali Kota Blitar Santoso. Samanhudi sempat menyinggung soal dendam politik saat ditangkap oleh polisi. Menurut pengamat politik, hal itu dinilai sebagai bentuk defisien demokrasi.
Mantan wali kota merampok rumah wali kota mencatat sejarah baru di Indonesia. Kasus besar itu hanya terjadi di Kota Blitar. Padahal, keduanya lahir dari embrio yang sama, yakni sebagai kader partai politik PDIP. Walaupun latar belakang keduanya berbeda, namun kolaborasi kinerja mereka pernah membawa Kota Blitar meraih berbagai penghargaan dari pemerintah pusat.
Samanhudi dengan latar belakang aktivis parlemen jalanan. Sementara Santoso merupakan seorang birokrat kawakan di jajaran pemerintah daerah di Bumi Bung Karno itu. Keduanya berjalan beriringan sampai menjadi sepasang pemimpin daerah yang bisa dibilang berhasil dengan program APBD Pro Rakyat sampai dua periode. Samanhudi sebagai Wali Kota Blitar dan Santoso sebagai Wakil Wali Kota.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun dalam perjalanannya, latar belakang mereka berpengaruh pada karier politiknya. Samanhudi terjerat kasus korupsi hingga berujung di bui pada tahun 2018. Regenerasi karier politiknya kepada putra mahkotanya seakan tak berarti. Ketika partai berlambang banteng moncong putih itu tak sedikitpun berpihak kepadanya.
Sementara Santoso lebih bisa memenangkan hati para petinggi PDIP dengan memberinya rekomendasi maju dalam Pilwali tahun 2019. Dari sinilah dendam politik itu berawal, hingga berujung penetapan status tersangka kepada Samanhudi terlibat dalam perampokan Santoso.
Pengamat Politik Universitas Brawijaya (UB) Malang Wawan Sobari menyebut peristiwa ini sebagai bentuk defisien demokrasi. Dalam kajian komunikasi politik, ada dua produk turunan demokrasi. Pertama defisit demokrasi karena tidak terpenuhinya tuntutan dengan capaian. Sementara yang disebut defisien demokrasi adalah integritas, profesionalitas, dan moralitas yang tidak terpenuhi.
"Nah kasus di Kota Blitar ini merupakan bentuk defisiensi demokrasi, karena pimpinan hasil pilkada sebelumnya, mortalitasnya tidak terpenuhi. Menurut saya, kasus ini mencederai demokrasi," papar Wawan kepada detikJatim, Jumat (3/2/2023).
Wawan mengaku sangat prihatin dengan kasus yang menjadi atensi nasional ini. Sebab, hal tersebut makin mengukuhkan bahwa politik tidak bisa diharapkan dalam konteks menunjukkan integritas. Pilkada belum bisa menghasilkan pemimpin terbaik dari sisi integritas. Integritas, bahwa yang bersangkutan tidak melanggar hukum dan profesional.
"Ini mengukuhkan bahwa pilkada belum bisa menjadi arena yang kompetitif karena yang terpilih bukan karena kapasitasnya atau gagasannya. Tapi, karena politik timbal balik atau patronase yang dibangunnya dengan elite politik," ungkapnya.
Tindakan Samanhudi tak umum dilakukan oleh seorang pejabat hasil pilkada. Baca halaman selanjutnya.
"Momen ini sangat bagus bagi publik dan warga Kota Blitar untuk menunjukkan siapa sebenarnya sosok mereka. Apa latar belakangnya," tandasnya.
Lektor Kepala Bidang Ilmu Politik dan Kebijakan Publik UB ini juga menyarankan, parpol hendaknya melihat rekam jejak seseorang dalam proses rekruitmen untuk menduduki jabatan politis. Ini penting diperhatikan. Sebab, jika terjadi kasus seperti di Kota Blitar, akan menjadi beban parpol itu sendiri.
Menurut Wawan, rivalitas sesama kader sebenarnya hal yang jamak terjadi di negeri ini. Kekerasan timbul imbas ketidakpuasan pengikut karena pemimpinnya tidak terpilih terjadi di beberapa daerah di Jatim. Seperti di Tuban, Mojokerto, Madura, Banyuwangi dan Tulungagung. Ini menunjukkan hubungan antara pemimpin dengan pengikutnya sangat kuat. Entah karena ada kemanfaatan ekonomi atau solidaritas.
"Ini disebut pembelahan politik, yang sebenarnya justru di desain oleh para elite politik itu sendiri. Tidak benar jika dikatakan pembelahan ini terjadi di struktur bawah," ucapnya.
Di tahun politik seperti sekarang ini, Wawan mengimbau masyarakat lebih mewaspadai politic toxic. Atau politik yang terpapar informasi yang sifatnya kampanye hitam yang dilebih-lebihkan. Apalagi saat ini, para pemilih pemula lebih mengandalkan rute short cut atau jalan pintas untuk menentukan pilihannya.
"Pemilih sekarang, lebih mengandalkan informasi dan memprosesnya dengan mengambil jalan pintas. Di sinilah risiko pembelahan politik berpotensi tinggi terjadi," tukasnya.
Simak Video "Babak Baru Kasus Perampokan Rumah Walkot Blitar, Eks Walkot Tersangka"
[Gambas:Video 20detik]
(dpe/dte)