Kisah Heroik Pemuda Tionghoa Curi Barang Penjajah untuk Pejuang Surabaya

Denza Perdana - detikJatim
Minggu, 22 Jan 2023 15:19 WIB
Ilustrasi. Serdadu Jepang di Surabaya turun dari bus disambut sikap hormat dari kondektur perempuan. (Foto: Istimewa/dok Frank Palmos)
Surabaya -

Sejak dulu Surabaya adalah kota toleransi. Pada momen peringatan Imlek di Kota Pahlawan ini, pas kiranya kita mengingat momen toleransi yang bahkan sudah terjalin sejak di era penjajahan.

Mungkin belum banyak yang tahu bahwa di masa-masa sebelum pecahnya perang 10 November 1945 yang kini diperingati Hari Pahlawan, ada sejumlah pemuda Tionghoa yang turut berperan penting bagi pejuang.

Komunitas Tionghoa di Surabaya telah ada sejak lama. Berdasarkan sensus yang dilakukan Residensi Surabaya pada 1920, jumlah warga Tionghoa di Surabaya mencapai 36.075 orang.

Jumlah warga Tionghoa itu mewakili 1.549 populasi saat itu, yang mana warga pribumi jumlahnya 2,6 juta dan warga Eropa, termasuk Belanda, sebanyak 21.579 orang.

Saat Belanda masih menjajah, komunitas Tionghoa Surabaya terbagi 2 kategori. Mereka yang lahir di Tiongkok yang dikenal dengan istilah 'totok', serta warga 'peranakan' yang lahir di Surabaya.

Total warga Tionghoa di Surabaya diperkirakan mencapai 40 ribu pada 1945. Separuhnya peranakan yang menganggap diri orang Indonesia, sisanya totok yang melihat dirinya warga negara Tiongkok.

Tidak hanya kaum pribumi, di masa-masa penjajahan itu mayoritas orang Tionghoa juga mengalami masa yang tidak kalah sulit. Kecuali para saudagar yang punya akses kepada penguasa Belanda.

Frank Palmos, Sejarawan asal Australia yang pernah menjadi jurnalis di Indonesia dalam bukunya "Surabaya 1945: Sakral Tanahku" menyebutkan bahwa pedagang besar Tionghoa sering bekerja sama dengan Belanda.

Sebaliknya, di masa perjuangan, warga Tionghoa di tingkat menengah ke bawah di Surabaya menjalin kerja sama dengan tokoh-tokoh pergerakan. Kerja sama ini bahkan lebih erat dibandingkan di kota lain.

"Kongsi-kongsi Tionghoa banyak yang mengendalikan sektor perkebunan yang memproduksi komoditi seperti kopi, gula, teh, kina, kacang tanah, singkong, kapuk, pisang dan jagung. Perusahaan-perusahaan besar milik Tionghoa juga mempekerjakan warga Eropa yang dianggap mempunyai keahlian manajemen yang lebih baik. Tapi semua kerjasama itu berhenti ketika Jepang masuk," sebut Palmos dikutip detikJatim, Minggu (22/1/2023).

Ketika Jepang menduduki Indonesia, situasi menjadi lebih pelik. Surabaya menjadi sasaran penjarahan besi yang paling dibutuhkan oleh Jepang melalui pembongkaran berbagai infrastruktur yang telah dibangun Belanda.

"Insinyur Belanda yang pernah merancang berbagai jembatan baja dikeluarkan dari sel tahanan lalu dipaksa membongkar karyanya. Jepang berhasil mengapalkan pulang ribuan ton besi dalam kurun waktu beberapa bulan," demikian sebut Palmos dalam bukunya.

Besi-besi yang dirampas Jepang begitu banyak. Karena itu tak jarang pencurian besi dilakukan oleh warga lokal Surabaya. Salah satu pelakunya adalah Cholik, veteran perang yang sempat diwawancarai oleh Palmos di usianya yang sudah 81 tahun pada 2010 di Australia.

Palmos menceritakan bahwa Cholik adalah Tionghoa peranakan yang besar di perkampungan dan banyak bergaul dengan keluarga-keluarga kaum pergerakan, para pejuang kemerdekaan di Surabaya. Nama itu sebenarnya bukan nama aslinya.

Cholik menjadi orang kepercayaan para pejuang karena keahliannya yang selalu bisa mendapatkan barang apa saja yang dibutuhkan para pejuang, bahkan tidak hanya mencuri dari orang Jepang. Karena kepercayaan itulah dia dapatkan nama panggilan tersebut.

"Orang-orang banyak yang menggunakan jasanya karena dirinya terkenal lincah dan hampir selalu berhasil dalam misinya. Cholik misalnya mencuri ban-ban dari mobil jip Jepang, mesin-mesin atau onderdilnya dan apa saja yang dibutuhkan satuan pejuang. Tapi jarang sekali Cholik akan mengantar sendiri 'barang-barang'nya," sebut Palmos.

Kecerdikan Cholik saat menyelundupkan barang curian untuk para pejuang. Baca di halaman selanjutnya.




(dpe/iwd)

Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork