Empat hari setelah tsunami meluluhlantakan Aceh pada 26 Desember 2004, Andi Sahrandi dan kawan-kawan relawan berada di Lhok Nga - Aceh Besar. Ia berinisiatif membuat kuburan massal agar mayat-mayat yang bergelimpangan di sana bisa segera dikebumikan agar tidak memicu penyakit.
Selain itu, bersama Tim lainnya ia mulai melibatkan masyarakat setempat untuk membangun rumah-rumah semi permanen di sana. Bahan baku memanfaatkan pohon-pohon kelapa yang banyak tumbuh di sekitar Lhok Nga. Semua dilakukan dalam senyap. Tanpa umbul-umbul atau bendera, apalagi publisitas di media massa.
![]() |
Mungkin karena kelelahan dan tidak mengontrol konsumsi makanan, saat kembali ke Jakarta pada Agustus 2005, dia terkena serangan jantung. Beruntung anggota keluarga dan kerabat dekatnya segera melarikan lelaki kelahiran 31 Desember 1944 ke Rumah Sakit Pondok Indah. Melihat mulut orang-orang yang membawanya ke rumah sakit berkomat-kamit, Andi pun turut berdoa.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tuhan jangan ambil nyawaku sekarang. Tugas gua di Aceh masih banyak yang belum selesai," bisiknya dalam hati.
Momen tersebut terungkap dalam buku 'Berbagi Senyum, Kisah-kisah yang Menguatkan dari Halaman Belakang Rumah Andi Sahrandi' yang diluncurkan di arena Indonesia International Book Fair di JICC Senayan, Kamis (25/9/2025). Buku setebal 482 halaman itu ditulis wartawan senior Pryantono Oemar dan diterbitkan Kepustakaan Populer Gramedia.
Atas permintaan moderator Lukas Luwarso, kisah serangan jantung itu kembali disampaikan Andi Sahrandi di acara tersebut. Rupanya serangan jantung kembali menyerang Andi pada dini hari 29 April 2019. Ia dilarikan ke rumah sakit di Pekanbaru, Riau. Kala itu ia dan Tim Kemanusiaan Posko Jenggala baru menuntaskan pembangunan 260 rumah hunian sementara dengan bantuan Bakrie Untuk Negeri melalui Energi Mega Persadadan Prudential.
"Waktu itu kami akan menyeberang pulau bersama rombongan Tim CSR grup usaha Bakrie untuk menggelar operasi katarak gratis di Kepri," tutur Andi Sahrandi. "Gua kembali menyampaikan doa yang sama, dan Alhamdulillah dikabulkan," ujarnya disambut tawa hadirin.
Namun di usia menjelang 81 tahun, alumnus Teknik Penyehatan (Lingkungan) ITB, 1976 itu mengaku pasrah bila Tuhan memanggilnya kapan dan dimanapun. Sebab pada intinya kematian adalah keniscayaan. Semua mahluk pasti menghadapi kematian.
Pada 1998, di Kelompok Jenggala (kelompok eks aktivis 1966 di lingkaran dalam pengusaha minyak Arifin Panigoro) Andi ditugasi menjadi 'Panglima Lapangan' yang berurusan dengan para mahasiswa. Selama perjuangan reformasi, rumahnya menjadi markas mahasiswa dan aktivis. Beranda belakang dengan halamannya yang luas merupakan tempat bercengkerama bagi semua kalangan sampai hari ini.
Ketika para sahabatnya masuk partai politik setelah reformasi, Andi memilih terjun ke kegiatan sosial di lingkungan Jabodetabek. Pasca tsunami Aceh aksi berlanjut setiap kali bencana terjadi di daerah-daerah lain. Bersama Arifin Panigoro, Hadi Basalamah, dan Barayani Muskita ia mendirikan Posko Jenggala. Andi juga melakukan kegiatan kemanusiaan bersama Bakrie Untuk Negeri.
Budayawan Erros Djarot menilai sosok Andi Sahrandi memang identik dengan bencana. Di mana suatu daerah terkena bencana, bisa dipastikan Andi akan hadir untuk melakukan aktivitas kemanusiaan. Dia pejuang kemanusiaan, bukan karena kaya tapi dianugerai kelebihan empati terhadap sesama sehingga selalu sigap untuk berbagi.
Pencipta lagu legendaris, 'Badai Pasti Berlalu' dan sutradara flm Tjut Nyak Dhien itu menilai seharusnya Presiden memberikan anugerah Bintang Mahaputra kepada Andi Sahrandi. Bukan justru memberikannya kepada para menteri yang baru beberapa bulan bekerja dan kepada orang-orang dekatnya. "Seharusnya pejuang kemanusiaan seperti dia yang dianugerahi Bintang," tegasnya.
Andai ada petisi masuk surga kepada Tuhan, Erros melanjutkan, dirinya akan ikut mendukung agar Andi menjadi salah satu yang masuk surga. "Dan saya ikut di belakang Andi saja," selorohnya disambut tawa hadirin.
(jat/erd)
Komentar Terbanyak
MUI Konfirmasi Dugaan Nampan MBG Terpapar Minyak Babi
Erdogan Sebut Kematian di Gaza Itu Genosida Total dan Hamas Bukan Teroris
Batas Wilayah Palestina dan Israel Jika Tercapai Solusi Dua Negara