Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur tengah menyiapkan fatwa soal politik identitas. Fatwa ini disiapkan karena belajar dari pengalaman Pilgub DKI 2017.
"Awalnya itu memang 2017, terbawa ke pilkada berikutnya. Ini kan yang mengistilahkan dari Gus Yahya," kata Ketua Komisi Fatwa MUI Jatim, KH Ma'ruf Khozin, Jumat (25/11/2022).
"Nah yang dimaksud Gus Yahya, politisasi agama, sementara yang lain, kita ini punya identitas masing-masing. Jadi, yang dimaksud supaya jelas duduk perkaranya," imbuhnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kalau politik identitas yang lainnya, misal Golkar identitasnya apa, PDIP identitasnya apa, kalau identitasnya nasionalis, agamis, religius, atau menggabungkan keduanya, nggak masalah," sambungnya.
Menurut Ma'ruf, yang dipermasalahkan MUI Jatim, membawa-bawa agama untuk memfitnah pihak lain, demi mendapatkan sebuah kekuasaan.
"Yang jadi keberatan kita kalau agama dijadikan alat politik. Ketika di daerah tertentu menuduh partai tertentu penista agama. Tapi di daerah lain berkoalisi. Ini kan hanya menjadikan agama sebagai alat, intinya ke sana," tegasnya.
Ma'ruf menegaskan fatwa ini tidak ditujukan ke salah satu capres tertentu. Fatwa ini murni agar masyarakat tidak terjebak pada politisasi agama.
"Mboten, mboten, mboten (tidak, tidak, tidak). Cuma kita ingin kontestasi 2024 ini murni gagasan, murni program, murni. Tidak lagi kemudian soal identitas agama," ujarnya.
Saat ini, lanjut Kiai Ma'ruf, fatwa dari MUI Jatim tersebut tengah difinalisasi, dan akan segera dirilis ke publik. Ia berharap, adanya fatwa tersebut menghindarkan publik dari politisasi agama dan polarisasi.
"Nggih (ya), menghindari polarisasi. Kalau urusan politik, ya murni politik. Jangan agama dijadikan tameng. Karena sepertinya 2024 ini lebih parah dibanding 2019, tapi semoga saja tidak," ujarnya.
"Fatwanya saat ini masih proses finalisasi. Nanti akan dirilis kalau sudah selesai," tandas Ma'ruf.
(abq/fat)