Bagaimana Status Anak Hasil Zina Menurut Islam? Ini Fatwa dari MUI

Bagaimana Status Anak Hasil Zina Menurut Islam? Ini Fatwa dari MUI

Yusuf Alfiansyah Kasdini - detikHikmah
Kamis, 12 Des 2024 17:04 WIB
Ilustrasi bayi
Ilustrasi bayi. Foto: getty images
Jakarta -

Nasab atau status anak memiliki kedudukan penting dalam ajaran Islam. Hal ini berkaitan dengan hak, kewajiban, dan identitas anak dalam keluarga serta masyarakat.

Dalam Islam, menjaga nasab adalah salah satu tujuan utama dari syariat pernikahan yang sah. Melalui pernikahan, keturunan dapat dijaga kemurniannya sehingga memberikan kehormatan dan perlindungan bagi setiap individu.

Allah SWT berfirman dalam Surah Al-Furqan ayat 54:

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

وَهُوَ الَّذِيْ خَلَقَ مِنَ الْمَاۤءِ بَشَرًا فَجَعَلَهٗ نَسَبًا وَّصِهْرًاۗ وَكَانَ رَبُّكَ قَدِيْرًا

Artinya: "Dialah (pula) yang menciptakan manusia dari air (mani). Lalu, Dia menjadikannya (manusia itu mempunyai) keturunan dan muṣāharah (persemendaan). Tuhanmu adalah Mahakuasa."

ADVERTISEMENT

Ayat ini menegaskan bahwa Allah SWT menciptakan manusia dengan tujuan yang mulia yaitu menjaga keturunan (nasab) dan menjalin hubungan melalui ikatan pernikahan yang sah. Pernikahan menjadi sarana yang diberkahi untuk menjaga kehormatan, melahirkan keturunan, serta memelihara hubungan keluarga yang harmonis.

Namun, dalam kasus status anak hasil zina menurut Islam tetap memberikan panduan yang adil. Status dan hak anak tersebut dijelaskan dengan tujuan memberikan perlindungan, meskipun ia lahir dari hubungan yang tidak sesuai dengan syariat.

Penting bagi setiap muslim untuk memahami bagaimana Islam memandang dan menangani persoalan nasab atau status anak ini. Simak penjelasan lebih lengkapnya berikut ini untuk mengetahui status anak hasil zina menurut Islam.

Status Anak Hasil Zina Menurut Islam

Islam memiliki pandangan yang sangat spesifik mengenai nasab atau status anak yang lahir di luar pernikahan sah, termasuk anak hasil zina.

Mengutip dari penelitian Sabilal Rasyad yang berjudul Status Hukum Anak di Luar Perkawinan dalam Hukum Islam dan Implementasinya dalam Perkembangan Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia dalam Jurnal Hukum Islam Vol. 15 No. 1 edisi Juni 2017, berdasarkan hukum Islam, nasab atau status anak kepada ibunya diakui melalui kehamilan, baik itu terjadi dalam pernikahan yang sah maupun melalui perzinahan. Namun, pengakuan nasab atau status kepada ayahnya hanya terjadi dalam tiga kondisi yakni, pernikahan yang sah, pernikahan fasid (tidak sah karena cacat syarat atau rukun), dan senggama syubhat.

Wahbah Zuhaili dalam kitab Al-Fiqhu Al-Islamiy wa Adillatuh menjelaskan, "Adapun sebab-sebab ditetapkannya nasab terhadap bapak biologisnya adalah dengan pernikahan yang shahih, pernikahan yang fasid, dan senggama syubhat"

Di luar tiga kondisi ini, nasab atau status anak kepada ayah biologisnya tidak dapat diakui. Para ulama sepakat bahwa perzinaan bukanlah dasar untuk menetapkan hubungan nasab antara anak dengan ayah biologisnya.

Dalam Islam, nasab adalah karunia dan nikmat dari Allah SWT, sedangkan perzinaan adalah dosa besar yang justru mendatangkan hukuman, seperti rajam atau cambuk seratus kali.

Hadits Rasulullah SAW memperkuat hal ini. Rasulullah SAW bersabda, "Anak itu bagi yang meniduri istri (secara sah) yaitu suami, sedangkan bagi pezina ia hanya berhak mendapatkan batu". (HR. Muslim).

Berdasarkan hadits ini, para ulama dari berbagai mazhab menyepakati bahwa nasab atau status anak hasil zina menurut Islam yang berasal dari benih laki-laki yang menzinai ibunya, maka tidak memberikan hak untuk membentuk hubungan nasab.

Hal serupa juga ditegaskan dalam Pasal 100 buku I Hukum Perkawinan Kompilasi Hukum Islam (KHI) bahwasanya, "Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya."

Dengan demikian, nasab atau status anak hasil zina menurut Islam tidak terhubung dengan ayah biologisnya. Anak hanya memiliki nasab dengan ibunya. Dalam Islam, nasab atau status anak diatur secara tegas untuk menjaga kemuliaan keluarga, tanggung jawab orang tua dan menghindari terjadinya kerancuan hukum.

Hukum Anak Hasil Zina Menurut Islam

Nasab atau status anak anak hasil zina menurut Islam memiliki konsekuensi hukum tertentu yang berbeda dengan anak yang lahir dari ikatan pernikahan yang sah.

Berikut adalah beberapa poin penting terkait hukum anak hasil zina menurut Islam yang dikutip dari buku Hukum Keperdataan Anak Di Luar Kawin tulisan Karto Manalu:

1. Tidak Memiliki Hubungan Nasab dengan Ayah Biologisnya

Anak yang lahir dari hubungan di luar pernikahan sah tidak memiliki hubungan nasab dengan ayah biologisnya, tetapi hanya memiliki nasab dengan ibunya.

Hal ini berarti ayah biologis tidak memiliki kewajiban secara hukum untuk memberikan nafkah kepada anak tersebut walau ayah tersebut adalah ayah kandungnya sendiri.

2. Tidak Ada Hak Waris antara Ayah dan Anak

Anak hasil zina tidak memiliki hak waris terhadap ayah biologisnya. Begitu pula sebaliknya, ayah biologis tidak dapat mewarisi dari anak tersebut. Hak waris hanya berlaku antara anak dan ibunya, serta dengan kerabat dari pihak ibu, seperti saudara perempuan dari ibu.

3. Tidak Memiliki Wali dari Ayah Biologis

Jika anak hasil zina adalah seorang perempuan dan hendak melangsungkan pernikahan, ayah biologisnya tidak dapat bertindak sebagai wali dalam akad nikah. Dalam kasus ini, peran wali dapat digantikan oleh wali hakim.

Fatwa MUI tentang Anak Hasil Zina

Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga telah menetapkan fatwa berkaitan dengan status anak hasil zina menurut Islam yang diatur dalam fatwa Nomor 11 Tahun 2012 tentang Kedudukan Anak Hasil Zina dan Perlakuan Terhadapnya. Isi fatwanya sebagai berikut:

  1. Anak hasil zina tidak mempunyai hubungan nasab, wali nikah, waris, dan nafaqah dengan lelaki yang mengakibatkan kelahirannya.
  2. Anak hasil zina hanya mempunyai hubungan nasab, waris, dan nafaqah dengan ibunya dan keluarga ibunya.
  3. Anak hasil zina tidak menanggung dosa perzinaan yang dilakukan oleh orang yang mengakibatkan kelahirannya.
  4. Pezina dikenakan hukuman hadd oleh pihak yang berwenang, untuk kepentingan menjaga keturunan yang sah (hifzh al-nasl).
  5. Pemerintah berwenang menjatuhkan hukuman (ta'zir) kepada lelaki pezina yang mengakibatkan lahirnya anakdenganmewajibkannya untuk:
    • Mencukupi kebutuhan hidup anak tersebut.
    • b. Memberikan harta setelah ia meninggal melalui wasiat wajibah.
  6. Hukuman sebagaimana dimaksud nomor 5 bertujuan melindungi anak, bukan untuk mensahkan hubungan nasab antara anak tersebut dengan lelaki yang mengakibatkan kelahirannya.




(inf/inf)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads