Surat wasiat menjadi dokumen yang sangat penting saat seseorang meninggal dunia. Surat wasiat ini biasanya berisi tentang pembagian harta warisan yang isinya biasa berlaku setelah pembuatnya meninggal dunia.
Sistem hukum waris yang dianut di Indonesia melalui hukum adat, hukum agama islam, hukum perdaya barat atau hukum waris China. Nah pilihan itu hanya bisa dipilih oleh pemilik warisan, ahli waris tidak dapat memilih cara untuk menentukan pembagiannya. Usai dibagi, pewaris baru boleh menerima harta warisan tersebut atau memberikannya kepada orang lain.
Advokat Hukum Andi Saputra, mengatakan menulis surat wasiat cukup penting dilakukan untuk menghindari munculnya perselisihan dan sengketa aset antar pewaris.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Itu kan soal pembuktian. Agar tidak jadi sengketa, sebaiknya ditulis dalam surat (wasiat) dan dicatatakan ke Notaris," katanya kepada detikcom beberapa waktu lalu.
Di sisi lain, Notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Vica Natalia menyampaikan penting atau tidaknya menulis surat wasiat juga tergantung dari situasi seseorang.
"Karena biasanya kalau orang-orang yang aware sama harta-hartanya (agar) nanti tidak terjadi perselisihan dan perebutan harta-harta tersebut biasanya dibikinkan surat wasiat. Supaya anak-anaknya atau ahli warisnya itu mendapatkan sesuai porsi sesuai dengan pewaris yang meninggal dunia," kata Vica kepada detikcom.
Dengan adanya surat wasiat, para ahli waris mendapatkan harta warisan sesuai dengan keinginan si pewaris atau penulis wasiat. Pembagiannya akan berbeda jika harta tersebut dibagi sesuai hukum waris yang berlaku.
Jika pembagian harta melalui wasiat, penulis wasiat bisa memilih siapa yang mendapat aset apa, asalkan sesuai dengan hukum yang berlaku (jika beragama Islam sesuai dengan Kompilasi Hukum Islam maksimal sepertiga dari harta warisan). Sementara jika pembagian waris berdasarkan hukum waris yang berlaku, semua ahli waris mendapatkan bagian sesuai hukum yang berlaku.
Sebagai gambaran, A meninggal mewariskan 1 rumah seharga Rp 500 juta dan pekarangan senilai Rp 100 juta yang jika di total harta warisan A adalah Rp 600 juta. Adapun yang berhak mewariskan adalah B, C, dan D, tapi A memberikan wasiat agar rumah itu jatuh ke B. Maka otomatis atas dasar wasiat itu, rumah bisa jadi milik B. Namun bila rumah itu harganya Rp 500 juta, maka wasiat itu menjadi gugur karena nilainya lebih dari 1/3 wasiat.
Sementara jika tidak ada surat wasiat, dengan contoh kasus yang sama, apabila beragama Islam, maka para ahli waris berupa rumah tersebut berhak mendapatkan nilai aset rumah maksimal sebanyak sepertiga. Namun, jika menggunakan KUH Perdata, maka hasil warisan dibagi sama rata ke semua ahli waris.
(das/das)