Sudah 5 tahun berturut-turut Kota Surabaya mendapat penghargaan Kabupaten/Kota Layak Anak kategori utama. Bisa dibilang, tidak ada daerah lain yang bisa mengalahkan Surabaya untuk ini. Tapi apakah Surabaya benar-benar layak untuk anak?
Belakangan, angka kasus kekerasan terhadap anak di Surabaya menunjukkan peningkatan. Sebagaimana tersirat dari data Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak serta Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3A PPKB) Surabaya.
Sejak Januari hingga Agustus 2022, tercatat 96 kasus menimpa anak-anak baik sebagai korban maupun pelaku. DP3A Surabaya memetakan jenis kasusnya mulai dari Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), nonKDRT, anak berhadapan dengan hukum (ABH) atau anak-anak sebagai pelaku kejahatan, hingga trafficking.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada jenis KDRT, kasusnya terbagi menjadi empat subkategori. Yakni kasus KDRT fisik yang tercatat sebanyak 6 kasus, KDRT seks sebanyak 6 kasus, sedangkan KDRT psikis dan penelantaran (PE) ada 5 kasus.
Kemudian, untuk jenis nonKDRT terbagi menjadi 3 subkategori, yakni nonKDRT fisik ada 11 kasus, seks ada sebanyak 46 kasus, dan penelantaran ada 1 kasus.
Sementara berkaitan jenis kasus ABH atau anak sebagai pelaku kejahatan ada 6 subkategori. Yakni pemerkosaan ada 2 kasus, pengeroyokan ada 4 kasus, pencurian ada 7 kasus, penjambretan ada 4 kasus, narkotika dan zat psikoaktif 1 kasus, hingga perampokan sebanyak 1 kasus.
Lainnya, ada jenis kasus trafficking yang hanya memiliki 1 subkategori yakni seks. Dalam catatan DP3A PPKB Surabaya sejak Januari hingga Agustus 2022 kasus trafficking ini 2 kasus.
Kepala DP3A PPKB Surabaya Tomi Andriyanto mengatakan, pada kondisi pandemi COVID-19 yang mulai berakhir, ada peningkatan kasus kekerasan dan pelecehan terhadap anak di Surabaya. Penyebabnya, menurut Tomi, ada dua. Pertama masalah ekonomi, kedua masalah sosial di masyarakat.
"Contoh kasus orang tua yang sampai membanting anaknya dan segala macam. Itu neneknya kemudian keluar melaporkan dan segala macam. Fenomena seperti itu juga memang karena kondisi masyarakat yang tidak normal menjadi normal (akibat Pandemi)," kata Tomi kepada detikJatim, Selasa (30/8).
Ia menjelaskan, kasus kekerasan paling banyak dialami pada lingkungan rumah sekitar. Di mana pelaku atau orang yang bermasalah adalah orang yang berada di sekitar lokasi kejadian.
"Oleh karena itu, kami minta RT/RW, Kader Surabaya Hebat (KSH) lebih peduli lagi terhadap lingkungannya. Gaya metropolis cuek, tidak mau tahu terhadap lingkungan dan tetangga yang harus dihilangkan. Lebih care dengan permasalahan sosial yang ada di lingkungan masing-masing," jelasnya.
Ketua Bidang Data, Informasi, dan Litbang Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Surabaya Isa Anshori menyebutkan, harus diakui sejauh ini belum ada daerah lain yang bisa menyaingi Surabaya, yang telah mendapatkan penghargaan Kabupaten/Kota Layak Anak kategori utama selama 5 tahun berturut-turut.
"Secara administratif, Surabaya memenuhi hampir semua kriteria. KLA itu kan memang dinilai berdasarkan apa yang sudah dijalankan. Jadi saya bisa katakan, apa yang sudah dijalankan di Surabaya dengan apa yang tercatat di administrasi itu sama. Karena itu penghargaan diberikan," ujarnya, Rabu (31/8/2022).
Sebagai kota yang sudah berkali-kali mendapatkan penghargaan KLA, Isa pun mendorong agar Surabaya semakin naik kelas. Dari sebelumnya terkategori Kota Layak Anak di tingkat Indonesia, kini menjadi Kota Layak Anak di tingkat dunia. Sesuai dengan visi misi yang telah diemban.
"Surabaya menurut saya harus naik kelas. Kota Layak Anak Dunia. Jadi standarnya tidak lagi mengikuti standar nasional, tapi harus standar dunia. Nah standar dunia itu harus ada sebagaimana visi-misi yang diemban sekarang: Gotong Royong Menuju Kota Maju, dan Berkelanjutan," ujarnya.
Menurut Isa, Pemerintah Kota Surabaya memang sudah memiliki mekanisme yang mapan. Terutama dalam hal penanganan ketika terjadi masalah yang dialami oleh anak-anak atau berkaitan penanganan anak-anak yang terlibat masalah seperti menjadi pelaku kekerasan dan sebagainya.
"Pemkot Surabaya sudah memiliki sistem untuk itu. Kemudian soal pencegahan, ada Kampung Arek Suroboyo dan Kampung Arek Pintar. Namun, meski sudah ada sistem yang diterapkan ternyata itu tidak bisa mencegah terjadinya kekerasan terhadap anak. Karena itu kasusnya tetap meningkat," kata Isa.
Ia memandang apa yang terjadi adalah kurangnya pengawasan dan perawatan mekanisme yang telah dibentuk. Hal inilah yang menurutnya menjadi variabel yang tidak bisa dikontrol oleh pemerintah kota kemudian terkesan dilepas begitu saja karena memang sulit melakukan pengawasan di setiap lokasi secara bersamaan.
"Itu menjadi sejumlah variabel yang tak bisa dikontrol dan dilepas begitu saja. Kalau saya memandang pengawasan dan perawatan itu yang memang kurang. Memang sudah ada Satgas khusus, tapi ditempatkan di kelurahan. Padahal masalahnya terjadi di tingkat rukun tetangga," ujarnya.
Jangan sampai KLA sekadar predikat yang tidak dijiwai. Baca di halaman selanjutnya.
Sebagai Ketua Bidang Data, Informasi, dan Litbang Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Surabaya, Isa Anshori memberikan masukan kepada Pemkot Surabaya agar me-refresh kembali apa sebenarnya yang disebut sebagai Kota Layak Anak. Supaya penghargaan itu tidak sekadar menjadi predikat belaka.
"Refresh kembali apa yang disebut kota layak anak supaya itu tidak sekadar menjadi predikat tapi dijiwai oleh semua elemen termasuk dinas yang membidangi. Dengan demikian, segala kekurangan bisa segera diatasi dan ditangani. Karena sebenarnya ada beberapa hal yang menurut saya memang belum ada di Surabaya dan perlu dipikirkan," kata Isa.
Pertama, Isa melihat belum ada mekanisme untuk mengantisipasi anak putus sekolah di Surabaya. Memang sudah ada kejar paket. Tapi tidak semua orang mau 'dikejarpaketkan'.
"Karena tidak semua orang mau dikejarpaketkan. Kalau tetap tak mau dimasukkan kejar paket solusinya bagaimana? Ini perlu dipikirkan. Solusinya, ya bikin sekolah di lingkungan anak itu dengan standar yang ditetapkan Pemkot. Misalnya di Kampung Arek Pintar. Harus dibangun kembali mekanismenya," katanya.
Bagaimana dengan kekerasan terhadap anak? Contohnya baru-baru ini seorang ibu membuang bayinya di talang air di Surabaya. Menurut Isa, bila sistem kepedulian di lingkungannya terbangun, hal itu tidak akan mungkin terjadi.
"Kenapa ibu itu melakukan itu? Ada banyak faktornya. Mungkin tidak punya tempat curhat. Tidak ada yang peduli dengan dirinya. Coba kalau lingkungan dekatnya peduli, hal itu tidak akan terjadi. Sekali lagi, ini seharusnya merupakan fungsi Satgas Perlindungan anak, yang selama ini ada di kelurahan. Sedangkan masalahnya terjadi di tingkat RT," ujarnya.
Untuk itulah LPAI Surabaya mengusulkan adanya sistem perlindungan anak di tingkat RT yang dikenal SPARTA. Isa menjelaskan bahwa sistem ini cukup dengan adanya aturan dalam perda yang mengharuskan bidang khusus dalam kepengurusan Rukun Warga dan Rukun Tetangga. Yakni bidang perlindungan terhadap anak.
"Jadi nanti semua permasalahan tentang anak itu yang menangani adalah mereka yang memiliki tanggung jawab di bidang perlindungan anak. Salah satunya mendampingi warga agar kepedulian mereka tentang hak-hak anak terbangun sehingga setiap permasalahan anak yang ada di lingkungan itu seluruhnya terdata dan bisa segera ditindaklanjuti," katanya.
Begitu juga dengan masalah pencegahan stunting. Menurut Isa, selama ini ibu-ibu posyandu itu hanya menimbang badan saja, tidak menanyakan kepada ibu bayi yang ditimbang apa yang dimakan, bagaimana mengatasi bila tidak ada uang untuk membeli makanan bayi. Minimal, kata dia, pendataan masalah yang menyebabkan stunting bisa dimulai sejak dari ibu-ibu Posyandu.
"Nah mekanisme pelaporan dan komunikasi juga perlu dibangun. Setelah mendata bisa dipilah-pilah itu tugasnya siapa? Bisa segera melapor ke dinas terkait. Dan ketika melapor harus ada surat tugas resmi dari RT. Pemkot juga perlu melakukan edukasi pendataan secara komprehensif seperti apa, pelaporan harus bagaimana dan sebagainya," ujarnya.