Asal-usul Nama Darmo, Jalan Ikonik di Surabaya

Asal-usul Nama Darmo, Jalan Ikonik di Surabaya

Praditya Fauzi Rahman - detikJatim
Sabtu, 30 Jul 2022 22:45 WIB
Polisi berjaga saat pemberlakuan kawasan tertib physical distancing di Jalan Tunjungan, Surabaya, Jawa Timur, Rabu (1/4/2020). Pihak kepolisian setempat memberlakukan kawasan tertib physical distancing atau jaga jarak secara fisik di Jalan Tunjungan dan Jalan Raya Darmo setiap hari di jam tertentu mulai 1-15 April 2020 untuk mencegah penyebaran Virus Corona (COVID-19). ANTARA FOTO/Didik Suhartono/foc.
Ilustrasi. Jalan Raya Darmo saat ditutup untuk Phisycal Distancing 2020 lalu/(Foto: ANTARA FOTO/Didik Suhartono)
Surabaya -

Pengamat Sejarah Surabaya Kuncarsono Prasetyo mengatakan nama Darmo berasal dari kata Derma. Dalam bahasa Jawa Kuna, Derma kerap disebut Dharma yang menjadi akar kata Pendharmaan.

"Asal kata Darmo berasal dari Derma, dalam bahasa Jawa disebut Dharma. Itu menurut kajian antropologi," kata Kuncarsono kepada detikJatim, Sabtu (30/7/2022).

Pria yang akrab disapa Mas Kuncar itu menjelaskan, daerah yang dijuluki Dharma itu berasal dari tempat pendharmaan. Wujudnya dia yakini berupa bangunan candi.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Candi yang dimaksud, menurutnya itu ada di kawasan Taman Bungkul. Ia meyakini itu karena diperkuat dengan bukti temuan batu bata kuno di sisi selatan Makam Mbah Bungkul.

"Yang sekarang jadi masjid itu, (batu bata kuno itu) ditemukan saat renovasi masjid," katanya.

ADVERTISEMENT

Sementara, Kuncar juga menyebut bahwa berdasarkan bukti sejarah yang ada, nama Darmo dipakai pertama kali saat pembangunan di era Hindia Belanda pada 1916. Ia mengklaim, bukti penamaan itu tercantum dalam sebuah peta atau arsip pembangunan perumahan kala itu.

Mulanya, lanjut Kuncar, di tahun 1916, pembangunan perumahan kedua terbesar di Surabaya itu meliputi kawasan Darmo hingga Kupang. Bahkan, dalam pembangunan saat itu, pengembang sempat menggusur banyak perkampungan dan sawah.

"Yang di selatan kampung Darmo, di sebelahnya Drudo, Kupang, dan Ketampon, sampai sekarang jadi jalan itu wilayah tanah pribadi, yang selatan milik Oost-Java Stoomtram Maatschappij (OJS)," tuturnya.

Menurutnya, perumahan yang dibangun saat itu benar-benar 'perumahan' yang sesungguhnya. Megah, luas, dan kharismatik.

"Perumahan swasta saat itu untuk kota Surabaya, kalau projek perum pertama di Jalan Simpang, itu di tahun 1899," katanya.

Mantan pewarta tulis media cetak lokal di Surabaya itu menerangkan, perumahan yang dibangun kala itu terbilang unik.

Meski megah nan mewah, namun pagar yang menjadi akses utama ke setiap rumah cukup pendek, hanya setinggi pinggang orang dewasa. Berbeda halnya dengan perumahan zaman sekarang yang justru memiliki pagar hingga 2 meter.

"Uniknya, perumahan zaman dulu open space, ada pagar tapi pendek, bahkan ada yang nggak pakai pagar. Termasuk perkantoran, gak ada keamanan khusus seperti satpam dan posnya, semua orang bisa mengakses," ujar dia.

Selain itu, rumah di kawasan Darmo kala itu juga tak memiliki kategori kelas atau seperti saat ini. "Lalu, cluster itu juga tidak ada," tutur dia.

Kuncar memastikan, real estate kedua di Surabaya itu juga memiliki lokasi yang luas. Kala itu, pembangunan dinakhodai oleh arsitek Henri Mclaine di atas tanah seluas 228,8 hektar.

"Yang pertama, di bouwmascapath di Keputran yang sekarang jadi kawasan Panglima Sudirman, lalu di sisi barat Gor Pancasila," kata dia.




(dpe/sun)


Hide Ads