Persaingan di dunia bisnis rongsokan semakin sengit ketika Pandemi COVID-19 membawa serta gelombang PHK. Pemutusan hubungan kerja memunculkan banyak pemain baru di bisnis rongsokan, termasuk di Surabaya.
Setidaknya itu yang dirasakan Dirman (bukan nama sebenarnya), salah satu bos rongsokan di Surabaya. Menurutnya orang-orang mulai sadar, di balik rongsokan yang identik dengan barang-barang "sampah" ada intan yang bisa digali.
"Sekarang tambah banyak pesaingnya. Banyak orang kena PHK akhirnya tertarik di dunia UMKM dan rombeng ini. Dari yang skala kecil sampai skala besar," ujarnya kepada detikJatim, Sabtu (2/7/2022).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ditambah lagi bila harga dari pabrik yang menampung barang bekas sedang tinggi. Potensi gesekan pun semakin kuat. Banting harga hingga cara tak masuk akal seperti menyuap tidak jarang terjadi.
"Pabrik itu harganya fluktuatif. Kayak sekarang begini ini ketika harga barang bekas seperti kardus, kertas, koran itu mahal, di bawah persaingannya ketat. Kadang enggak masuk akal," ujarnya.
Di tengah persaingan seperti itu, Dirman memilih main aman. Dari berteman dengan para pengepul rongsokan yang sudah mapan dan ia sebut, "orang-orang etnis," hingga mencari potensi yang tidak semua orang bisa masuk ke sana.
"Kenapa aku memilih perkantoran, lembaga pemerintah dan sejenisnya? Sebenarnya potensi risikonya tetap ada. Tapi tidak semua orang bisa masuk ke situ. Dengan begitu aku tidak perlu berurusan dengan orang banyak," ujarnya.
Tapi ia harus tetap berhati-hati. Pernah suatu kali ia hendak merayu kenalannya yang seorang pengusaha kompor dengan kapasitas cukup besar di Sidoarjo. Ia bermaksud membeli barang-barang sisa produksi yang tidak terpakai.
Bos kompor itu menyampaikan pesan yang cukup untuk membuat Dirman mengurungkan niatnya. Apa pesannya? Baca di halaman selanjutnya.
Bos kompor itu membolehkan dirinya untuk mengambil barang-barang sisa itu, tapi yang bersangkutan menyampaikan satu pesan yang akhirnya membuat Dirman mengurungkan niatnya.
"Dia bilang, 'lho enggak opo-opo, Man, jupuken. Tapi engkok lek ono opo-opo karo awakmu nang njobo yoopo? Aku enggak tanggung jawab, yo. (Lho tidak apa-apa, Man, ambil saja. Tapi kalau ada apa-apa sama kamu di luar bagaimana? Aku enggak mau tanggung jawab, ya)'." Kata Dirman.
Seperti itulah gambaran risiko yang harus dihadapi Dirman dan pengusaha rongsokan lainnya. Karena itu, Dirman berprinsip, ia tidak akan serakah mengambil sebanyak-banyaknya.
Dirman selalu memikirkan bagaimana supaya pemain lain, terutama para pemain lama di suatu wilayah tempat di mana ia mulai masuk, tidak sampai kehilangan apa yang biasa mereka dapatkan. Dengan kata lain, jangan sampai pemain lain tidak kebagian.
"Ojo sampe pengepul liane iku enggak kumanan. Iku bahaya. (Jangan sampai pengepul lainnya itu tidak kebagian. Itu bahaya). Makanya aku harus menjaga komunikasi dengan teman-teman "orang-orang etnis" itu," ujarnya.
Dirman mengakui dirinya mendapat banyak hal dari bisnis rongsokan. Sebab, keuntungan yang dijanjikan bisnis ini, menurutnya bahkan bisa lebih dari 100 persen dari modal yang ia keluarkan. Meski risikonya tidak kecil.
Tidak hanya potensi gesekan dengan sesama pelaku bisnis Dirman mengisahkan bahwa dirinya tidak jarang harus berurusan dengan aparat yang tiba-tiba datang meminta sumbangan ini dan itu.
"Ya kalau ada aparat yang datang minta sumbangan antinarkoba atau apa, aku enggak peduli, sebisa mungkin aku menolak," ujarnya.
Tidak hanya risiko gesekan dengan sesama pengusaha dan aparat, Dirman juga berisiko terjerat hukum bila tidak hati-hati. Apa itu? Baca halaman selanjutnya.
Demi mengembangkan bisnis rongsokan yang lebih aman, Dirman pun pada akhirnya memanfaatkan teknologi informasi. Ia daftarkan lokasi usahanya ke Google Maps yang ternyata cukup mendatangkan cuan.
"Dengan cara ini aku bisa masuk ke perumahan yang seringkali diportal dengan tulisan 'pemulung dilarang masuk'. Warga perumahan itu cari di google maps lalu telepon meminta barang-barang yang sudah tidak dipakai dibeli. Sofa bekas, besi, dan lain-lain. Biasanya keluarga yang mapan," ujarnya.
Tapi sesuai dengan prinsip awalnya dan berbagai pengalaman yang sudah dia dapatkan, Dirman tetap berhati-hati dalam menyeleksi setiap barang bekas yang hendak diambil.
Karena untuk urusan itu, Dirman juga berpotensi berurusan dengan jeratan hukum. Bisa-bisa tanpa ia sadari ia terjebak dalam perdagangan barang-barang gelap dan terjerat dengan pasal penadah.
"Makanya aku selalu hati-hati. Kalau ada yang telepon minta barangnya diambil, aku takon sik. Opo sing mok dol? (Apa yang kamu jual). Aku nilai sendiri, lek ono potensi mlebu pasal 480, enggak wani njupuk aku (kalau ada potensi masuk pasal 480 [penadah] enggak berani aku ngambil)," ujarnya.
Siapa yang mengira dunia bisnis barang bekas alias rongsokan atau rombengan begitu keras. Meski peristiwa penembakan bos rongsokan Sidoarjo pada Senin (27/6/2022) lalu pelan-pelan terungkap karena dendam pribadi, risiko menjadi pelaku bisnis ini tidak bisa dimungkiri.
Bukan tidak mungkin apa yang dialami bos rongsokan bernama Sabar (37), yang ditembak di Desa Tenggulunan, Candi, Sidoarjo, terjadi karena persaingan usaha karena persinggungan para pelaku bisnis ini yang saling bersikutan hingga bersitegang.
Seperti itulah risiko yang harus dihadapi para pebisnis barang rongsokan atau barang bekas. Hukum rimba berlaku di bisnis ini. Siapa yang kuat, dialah yang akan berjaya. Tidak sedikit di antara para pelaku ini yang bergelimang harta hingga beberapa di antaranya menjadi donatur tetap pondok pesantren.