Pakar Psikologi Politik Harap Tak Ada Lagi Sejarah Ditulis Berdasar Kekuasaan

Pakar Psikologi Politik Harap Tak Ada Lagi Sejarah Ditulis Berdasar Kekuasaan

Tim DetikJatim - detikJatim
Jumat, 04 Mar 2022 22:35 WIB
Mahfud MD Vs Fadli Zon Soal Peran Soeharto di Serangan Umum 1 Maret (Tim Infografis detikcom)
Foto: Mahfud MD Vs Fadli Zon Soal Peran Soeharto di Serangan Umum 1 Maret (Tim Infografis detikcom)
Surabaya -

Menko Polhukam Mahfud MD dan Anggota DPR Fadli Zon tengah berdebat soal peran Soeharto di peristiwa serangan umum 1 Maret 1949. Ini berawal saat pemerintah mengeluarkan Keppres RI 2/2022 soal Penegakan Kedaulatan Negara.

Keppres ini menjadi polemik karena tidak mencantumkan nama Presiden ke-2 Soeharto. Mahfud pasang badan dengan menyebut Keppres bukan buku sejarah. Kini Fadli Zon menantang Mahfud untuk debat dan adu fakta.

Pakar psikologi politik Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya Andik Matulessy mengatakan sejarah memang selalu ditulis oleh penguasa dan pemenang. Meski demikian, ia menyarankan agar dapat memberikan penjelasan yang obyektif terkait peniadaan nama Soeharto.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Seharusnya pemerintah dapat memberikan eksplanasi yang objektif berdasarkan fakta-fakta sejarah dari sejarawan maupun tokoh pelaku Serangan 1 Maret. Sehingga tidak ada lagi penulisan sejarah yang mendasarkan pada kekuasaan dan nantinya tidak mendidik bagi generasi berikutnya," jelas Andik kepada detikJatim, Jumat (4/3/2022).

Ia kemudian menyinggung apa yang pernah dilakukan pada era Orde Baru, Saar itu nama Sri Sultan Hamengkubuwono IX yang hilang dalam peran peristiwa Serangan Umum 1 Maret.

ADVERTISEMENT

Padahal, lanjut Andik, Hamengkubuwono merupakan Raja yang menguasai Yogya. Meski demikian, Andik tidak menepis bahwa Soeharto juga punya dalam serangan umum 1 Maret itu. Namun untuk inisiator serangan ia menyebut kemungkinan besar bukan Soeharto.

Ada banyak nama, salah satunya Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Tapi menghilangkan nama itu memang ada sisi pertarungan yg emosional. Sebagai Raja yang menjadi penguasa wilayah Yogya tentunya lebih mudah memobilisasi (menginisitori) pasukan dan rakyat daripada yang lain. Atau bisa saja Panglima Soedirman yang menjadi pimpinan TNI waktu itu," papar alumnus Universitas Gadjah Mada (UGM) itu.

Sebelumnya, Keputusan Presiden RI 2/2022 soal Penegakan Kedaulatan Negara menjadi polemik. Urusan ini menjadi panjang karena Keppres tersebut tidak mencantumkan nama Presiden ke-2 Soeharto terkait peristiwa serangan umum 1 Maret 1949.




(abq/sun)


Hide Ads