Masih ingat pada bunker yang ditemukan di salah satu rumah warga kampung batik Laweyan Solo? Rumah dengan ruangan bawah tanah itu sempat tak terawat setelah pewarisnya, Harun Mulyadi, meninggal. Rumah itu lalu dirawat oleh warga sekitar, kini dikenal sebagai objek wisata Bunker Setono.
Sesuai namanya, rumah kuno itu berada di wilayah RT 2 RW 2, Kampung Setono, Kelurahan Laweyan, Kecamatan Laweyan, Kota Solo. Tepatnya di depan Villa Tria. Rumah itu dipagari tembok bata setinggi dua meter dengan regol kayu bercat hijau.
Saat detikJateng memasuki regol itu, Jumat (13/9) pekan lalu, ada dua rumah limasan yang menghadap ke selatan. Bunker Setono terdapat di salah satu rumah itu. Rumah berbunker itu tampak sepi. Adapun rumah di sebelahnya tampak riuh oleh aktivitas para pembatik.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
Milik Pasutri Juragan Batik
Menurut pengelola bunker Setono, Sutanto, dua rumah itu dulunya milik pasangan suami istri pengusaha batik Laweyan. Setelah mereka meninggal, rumah itu dihuni oleh pembantunya dari Wonogiri.
"Rumah ini di PBB (pajak bumi dan bangunan) atas namanya Wiryo Supadmo. Beliau tidak punya anak, hanya ada keponakan-keponakan yang salah satunya masih bisa kami hubungi (yang tinggal) di Kauman," kata Sutanto yang juga Ketua RT 2 RW 2 di Kelurahan Laweyan itu, Jumat (13/9/2024).
"Setelah Pak Wiryo meninggal, Bu Wiryo membawa seorang pembantu dari kampungnya di Wonogiri yang bernama Harun Muryadi. Setelah Bu Wiryo meninggal, Pak Muryadi hidup sendirian di sini sampai meninggal. Setelah itu rumahnya kosong," sambung dia.
Sutanto mengatakan, rumah berbunker ini berdiri di atas tanah seluas 500 meter. Ruang depannya berupa pelataran beratap, luasnya sekitar 7 x 8 meter persegi.
"Pelataran ini dulu biasanya untuk karyawan yang bekerja di sini. Seperti untuk ngecek batik yang dibuat sudah benar atau belum," ujar dia.
![]() |
Adapun lantai ruang belakang rumah itu tampak lebih tinggi sekitar 30 sentimeter dan lebih luas dari pelatarannya. Di ruang belakang inilah bunker itu berada.
"Kalau yang belakang itu disebut sitinggil, tempat juragannya. Biasanya setelah karyawan selesai kerja di depan terus laporan ke juragannya di sini," ucap Sutanto.
"Gaya rumah juragan-juragan Laweyan dulu memang seperti ini. Bunkernya berada di tengah dan (dulu) di atasnya ada tempat tidur juragan," imbuh dia.
Di luar rumah itu terdapat kamar mandi dan sumur tua dengan bak besar di sampingnya. Sutanto menyebut bak itu dulunya untuk menunjang aktivitas bisnis batik Wiryo.
"Di sini itu ada dua versi (tentang sosok almarhum Wiryo), pengusaha batik atau pengusaha pewarnaan (batik). Karena kalau dilihat dari bak-bak yang ada ini, (usahanya) pewarnaan batik. Jadi dari juragan-juragan itu mewarnakan batik di sini," kata Sutanto.
Tempat Sembunyi-Simpan Harta
Permukaan bunker di sitinggil rumah itu cukup sempit, sekitar 0,5 x 1 meter. Bunker itu ditutup papan kayu. Saat penutupnya dibuka, terlihat tiga anak tangga untuk masuk ke dalamnya.
Untuk memasuki bunker tersebut, detikJateng harus menundukkan badan. Sebab, ketinggian pintunya tak lebih dari satu meter. Hawa pengap dan lembab langsung terasa setelah memasuki bunker ini. Tidak ada lubang ventilasi di dalamnya. Satu-satunya jalan udara hanyalah dari pintu masuknya.
Bagian dalam bunker Setono luasnya hanya sekitar 2 x 2 meter. Bunker itu beralas tanah dan bertembok batu bata yang masih kokoh. Tinggi ruangannya sekitar 1,7 meter. Ada lampu kuning yang dipasang untuk menerangi ruangan bunker.
Dari permukaan lantai, bunker ini memiliki kedalaman sekitar 2 meter. Sutanto bilang, bunker ini dulunya memiliki dua fungsi. Yaitu untuk berlindung dari bahaya dan untuk menyimpan harta.
"Kalau ada rame-rame dulu itu (seperti) rampok, bisa langsung masuk bunker lewat kolong. Di halaman depan itu kan ada kerikil-kerikil, jadi kalau ada orang masuk itu tahu (karena) ada suaranya," ujar Sutanto.
"Dulu zaman (penjajahan) Jepang, kalau ada (tentara) Jepang itu penghuni juga bisa masuk sini. Tapi fungsi utamanya bunker itu untuk menyimpan perhiasan, harta," imbuhnya.
Sutanto juga menepis kabar bahwa bunker ini dulunya sempat terhubung dengan bunker-bunker di rumah lain.
"Oh nggak, bukan, bukan gitu. Kalau bunker itu ya tetep berhenti di situ (tidak terhubung dengan bunker lain). Kalau yang (dikabarkan) nyambung itu, maksudnya rumah yang belakang itu ada sisa tanah, di sana ada pintu," terang Sutanto.
"Jadi ketika ada apa-apa, orangnya lari ke belakang kemudian bisa tembus ke rumah sebelahnya. Kalau bunkernya ya susah (jika dibuat terhubung). Menerobos mau tembus ke mana?" sambung dia.
Rencana Pengelolaan Bunker Setono
Menurut Sutanto, rumah berbunker ini sempat kurang terawat setelah Harun Mulyadi meninggal. Warga sekitar lalu bergotong royong untuk membersihkan dan merawat rumah ini sejak pertengahan 2023.
Sutanto menuturkan, ada beberapa bagian di rumah tersebut yang dibenahi tanpa mengubah bentuk aslinya.
Bunker Setono buka setiap hari pukul 09.00 WIB - 16.00 WIB. Pengelola tidak mematok tarif tertentu bagi orang yang ingin mengunjungi Bunker Setono.
Selengkapnya di halaman selanjutnya.
"Kalau mau datang ke bunker silahkan bisa hubungi saya karena kunci saya yang pegang. Belum ada tiket masuk di sini, jadi kalau mau ngasih ya monggo seikhlasnya untuk operasional seperti perawatan rumah," ucap Sutanto.
Sutanto menambahkan, Bunker Setono rencananya akan dikelola biar lebih semarak.
"Bangunan ini sangat prospek untuk dijadikan tongkrongan atau wedangan, semacam itu. Kita sudah mendatangkan ahlinya dan sedang membuat grand design. Mungkin nanti ditata, ada meja-mejanya, kan bisa langsung melihat ke arah masjid Laweyan itu," pungkas Sutanto.
Perkiraan Sejak Awal Abad 19
Ketua Solo Societeit, Dani Saptoni (42) menyatakan komunitasnya sudah beberapa kali melakukan penelitian di kawasan Laweyan, termasuk di Bunker Setono.
Terbaru, komunitasnya menggelar Urban Social Forum di Laweyan pada Desember 2023. Acara itu digelar bersama Urban Reason, komunitas dari Jakarta yang aktif membahas tentang hunian perkotaan.
Menurut Dani, bunker itu dibangun saat industri batik mulai populer di Laweyan pada awal tahun 1800-an.
"Kemungkinan besar pembangunan (bunker) ini justru dimulai ketika Laweyan sudah mulai marak dengan industri batik, mungkin sekitar awal abad 19-an. Kalau (tahun) 1537 itu terlalu lama, tidak ada alasan berdasar untuk meletakkan angka tahun itu sebenarnya," kata Dani saat dihubungi detikJateng, Selasa (17/9/2024) lalu.
Artikel ini ditulis Ardian Dwi Kurnia peserta Program Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom.