Kisah Horor Hotel Cakra Solo, Tempat Tentara Jepang Saling Bunuh

Kisah Horor Hotel Cakra Solo, Tempat Tentara Jepang Saling Bunuh

Arina Zulfa Ul Haq - detikJateng
Minggu, 17 Des 2023 09:08 WIB
Wahana wisata rumah hantu di bekas Hotel Cakra, Jalan Slamet Riyadi, Kemlayan, Kota Solo, Kamis (14/12/2023) malam.
Wahana wisata rumah hantu di bekas Hotel Cakra, Jalan Slamet Riyadi, Kemlayan, Kota Solo, Kamis (14/12/2023) malam. Foto: Arina Zulfa Ul Haq/detikJateng
Solo -

Bekas Hotel Cakra yang kini jadi wahana rumah hantu di Kota Solo ternyata menyimpan cerita sejarah yang menarik untuk dikulik. Mulai dari sejarahnya sebagai pusat militer Jepang di Solo hingga kini terbengkalai dan jadi wahana rumah hantu.

Salah satu pemerhati sejarah dan budaya Solo, KRMAP L Nuky Mahendranata Adiningrat, mengulas kisah sejarah Hotel Cakra lewat akun Instagramnya @kanjengnuky, seminggu lalu.

Dalam postingan itu, Kanjeng Nuky menuliskan bahwa Hotel Cakra yang berada di Jalan Slamet Riyadi, Kemlayan, Solo, ini dulunya adalah salah satu titik pertempuran di era kemerdekaan RI.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pertempuran di lokasi itu bermula ketika pelaksanaan penyerahan kekuasaan pemerintah pendudukan Jepang kepada pemerintah Indonesia di Solo yang tidak berjalan mulus.

"Ketika pelaksanaan penyerahan kekuasaan pemerintah pendudukan Jepang kepada pemerintah Indonesia di Surakarta yang tidak berjalan mulus, terjadi perbedaan dalam penyerahan kekuasaan sipil dan militer di kalangan Jepang tgl 1 Oktober 1945," tulis Kanjeng Nuky di Instagram.

ADVERTISEMENT

Ia bercerita, awalnya Ketua Komite Nasional Indonesia (KNI) Solo, Mr BPH Soemodiningrat yang merupakan kakak dari neneknya, memimpin delegasi Indonesia untuk bertemu dengan Kepala Pemerintahan Sipil Jepang Watanabe. Pertemuan ini berlangsung lancar.

"Watanabe dgn sukarela menyerahkan pemerintahan sipil di Surakarta kepada Indonesia," tulisnya.

Begitu pula dengan Suyatno Yosodipuro, tokoh pemuda, yang memimpin delegasi untuk bertemu Letnan Kolonel T Mase pada 4-5 Oktober 1945, Komandan Garnisun Kota.

Dalam pertemuan itu, Suyatno berhasil meyakinkan komandan tentara Jepang untuk menyerahkan kekuasaan militer agar tidak terjadi pertumpahan darah. Namun, pihak Kempetai (Polisi Militer) yang tidak berada di bawah Letkol T Mase menolak untuk menyerah.

"Komandan Kempetai Kapten Sato menolak menyerah karena blm ada perintah langsung dari Tenno Heika (Yang Mulia Kaisar Jepang).Sikap Kapten Sato ini lah yg memicu pengepungan dan pertempuran di daerah Kemlayan pada 12 Oktober 1945," jelas Kanjeng Nuky dalam postingannya.

Serangan atas markas Kempetai (sekarang bekas Hotel Cakra) itu dipimpin oleh Slamet Riyadi. Akhirnya pihak Kempetai pun menyerah.

Markas yang kini dikenal sebagai Hotel Cakra itu pun berhasil dikuasai Indonesia. Menurut Kanjeng Nuky, yang mengutip beberapa postingan dari akun temannya dan sumber-sumber lain, pada masa itu banyak ditemukan mayat serdadu Jepang yang ditembak di kepala oleh teman-temannya sendiri.

"Aksi heroik Harakiri ini pun meninggalkan jejak mistis di bagian2 hotel Cakra yg hingga saat ini kosong tak berpenghuni dan dijadikan rumah hantu untuk keperluan komersil," jelasnya.

Saat dihubungi detikJateng, Rabu (13/12), Kanjeng Nuky menjelaskan kisah tentang bekas Hotel Cakra itu secara lebih mendalam.

Dia menceritakan, dulu saat tentara Jepang kalah, mereka saling menembak kepala masing-masing. Menurutnya, para tentara Jepang itu lebih memilih mati daripada menyerahkan kekuasaan.

"Di kolam renang itu dulu dipakai untuk pemakaman atau pemenggalan kepala. Makanya ketika dipakai Hotel Cakra itu dulu banyak kejadian, diketuk pintu kamarnya terus dikasih kepala. Makanya itu jadi angker hotelnya," kata Kanjeng Nuky kepada detikJateng, Rabu (13/12/2023).

Mangkrak Sejak 1990-an

Menurut Kanjeng Nuky, Hotel Cakra mulai mangkrak sejak tahun 1990-an atau sudah sekitar 30 tahun hotel itu terbengkalai. Hal itulah yang membuat bangunannya terkesan horor.

"Jadi di situ kalau teman teman saya yang indigo, di situ memang menjadi sebuah komunitas. Tempat itu ramai sekali (oleh makhluk gaib). Semua berada di situ, bercampur entitas yang jenis hantu juga siluman," ucapnya.

Kini, bangunan tersebut kembali difungsikan menjadi wahana rumah hantu yang ramai dikunjungi masyarakat. Menurutnya, itu adalah keputusan yang baik karena membuat bangunan menjadi 'bersih'.

"Karena beberapa puluh tahun tempat itu tidak jelas kan mau diarahkan kemana. mau dirobohkan atau mau dipakai lagi. Dengan dipakai wahana rumah hantu, tempat itu jadi tersentuh oleh manusia," tuturnya.

Kanjeng Nuky berharap, ke depannya lokasi bersejarah itu bisa terus difungsikan agar tidak lagi terbengkalai. Mengingat tempat yang merekam jejak kemerdekaan Indonesia itu juga berada di jantung Kota Solo.




(dil/ahr)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads