Sejuk, tenang dan damai. Kesan ini langsung terasa saat menginjakkan kaki di Desa Buntu, Kecamatan Kejajar, Wonosobo. Sebuah desa di lereng Gunung Sindoro yang tetap harmonis hidup berdampingan dengan empat keyakinan berbeda.
Siang ini waktu belum genap menunjukkan pukul 13.00 WIB, namun kabut tipis perlahan mulai turun di antara pepohonan. Sementara sorot matahari seperti malu-malu menghilang di balik perbukitan.
Kicauan burung pun mesra menyapa begitu memasuki gerbang desa yang berada di ketinggian 1.300 meter di atas permukaan laut (mdpl) ini. Sayup-sayup juga terdengar lantunan ayat suci Alquran dari salah satu masjid di desa tersebut.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ya, tidak hanya pesona alam pegunungan yang indah, Desa Buntu yang berada di jalur wisata Dieng ini juga menggambarkan indahnya toleransi. Sebanyak 903 kepala keluarga (KK) yang hidup di desa ini memeluk empat keyakinan yang berbeda.
Empat keyakinan itu antara lain Islam, Kristen, Katolik dan Buddha. Dari empat agama tersebut, tiga di antaranya memiliki rumah ibadah yang hanya berjarak 80 - 100 meter saja.
Hidup berdampingan dengan empat keyakinan tidak lantas membuat warga Desa Buntu tidak saling membantu. Justru mereka terlihat kompak untuk saling menjaga dan membantu saat pemeluk agama lain melakukan ibadah.
Salah satunya diungkapkan Ketua Stasi umat Katolik Desa Buntu, Tuwarno. Ia mengatakan kerukunan warga di Desa Buntu tidak dibikin atau diatur secara khusus. Namun itu terjadi secara alamiah.
"Kerukunan di sini (Desa Buntu) tidak dibuat atau diotak-atik mau dibikin seperti apa. Tapi sudah terjadi secara alamiah saja," ujarnya saat ditemui di depan Gereja Katolik Ibu Marganingsih Desa Buntu, Sabtu (16/12/2023).
![]() |
Salah satu contohnya pada saat perayaan hari besar agama, seperti Paskah atau Natal. Ia menyebut setiap tahun saat umat Katolik tengah beribadat di dalam gereja, umat Islam dan Budha membantu mempersiapkan keperluan lain di luar gereja, seperti menyiapkan konsumsinya.
"Pada saat perayaan Paskah atau Natal, di situ kami sering dibantu dari teman-teman dari agama lain, yakni muslim dan Budha. Jadi pada saat kami beribadat di dalam gereja, mereka menyiapkan segala sesuatunya di luar gereja. Entah itu dari segi konsumsi atau keperluan lainnya. Karena memang banyak yang dipersiapkan. Kami biasanya mengundang beberapa tokoh dari agama lain," ungkap Tuwarno.
Sehingga, saat perayaan Paskah atau Natal umat Katholik bisa beribadat dengan khusuk. Hal serupa juga diterapkan pada saat umat muslim menjalankan ibadah salat tarawih di bulan Ramadan. Saat salat tarawih berlangsung, warga pemeluk agama lain memasang portal masuk ke desa agar ibadah umat muslim lebih khusuk.
"Di jalan masuk ke Desa Buntu itu diportal dan dijaga dari umat lain. Tidak boleh ada kendaraan yang masuk atau keluar agar ibadah salat tarawih bisa khusuk. Kecuali yang mendesak seperti orang sakit," terangnya.
Senada juga disampaikan umat Buddha Desa Buntu, Sriah. Ia mengatakan, kerukunan warga di Desa Buntu tidak hanya seputar keagamaan, tapi juga dalam kemasyarakatan. Misalnya saat kerja bakti, menjenguk warga yang sakit, hingga saat ada warga yang meninggal dunia.
"Kalau di sini memang saling menjaga dan membantu saat ada perayaan hari besar atau ada ibadah dari pemeluk agama lain. Untuk kemasyarakatan juga gotong-royong. Seandainya ada orang sakit atau kematian itu datang semua, dan membantu keperluannya. Tidak ada yang membedakan," ujarnya.
![]() |
Sriah menceritakan, pernah terjadi dua warga Desa Buntu dari dua agama yang berbeda meninggal dunia pada hari yang sama. Saat itu warga saling membantu tanpa membeda-bedakan.
"Pernah kejadian ada dua orang, satu dari Katolik dan satu dari muslim, meninggal dunia di hari yang sama. Itu warga membantu mengurus keperluannya termasuk mempersiapkan pemakaman tanpa membeda-bedakan," tuturnya.
Ditemui di Balai Desa Buntu, Kades Buntu, Suwoto menyampaikan meski terdapat empat keyakinan yang berbeda, namun kerukunan warga terus terjaga.
"Memang sudah dari dulu, belum pernah sekalipun ada gejolak berkaitan dengan perbedaan keyakinan. Alhamdulillah di sini semuanya rukun bahkan saling membantu antar pemeluk agama," kata dia.
Selengkapnya baca di halaman berikutnya....
Salah satunya saat pembangunan mushola. Saat proses pembangunan, tidak hanya umat muslim yang terlibat, namun juga warga dari umat lain datang untuk membantu.
"Belum lama ini ada pembangunan mushola. Saat proses pengerjaan itu tidak hanya orang Islam saja, warga dari umat agama lain juga datang membantu. Dan mereka tidak ada yang menyuruh," terangnya.
Suwoto juga menyebut jika sikap saling membantu juga ditunjukkan saat umat lain tengah beribadah di rumah ibadah masing-masing. Hanya sampai saat ini cuma umat Kristen yang tidak memiliki rumah ibadah di Desa Buntu.
"Kalau dari umat Kristen tidak ada rumah ibadah di sini. Mungkin karena paling sedikit jumlahnya. Selama ini kalau mau ibadah pergi ke luar desa. Tetapi hubungan kemasyarakatan mereka tetap baik," sebutnya.
Menurutnya, tingginya toleransi di desa yang sebagian besar bekerja sebagai petani sayuran ini tumbuh mulai dari lingkup terkecil yakni dari dalam rumah. Bahkan, ia menyebut jika beberapa warganya memeluk keyakinan yang berbeda namun tetap tinggal dalam satu rumah.
"Di sini beberapa warga itu beda agama dalam satu rumah. Ada suaminya tokoh Budha, istrinya Islam dan mertuanya Katolik. Itu kalau saat sahur pas bulan puasa juga dibangunin dan ditemanin sahur. Sebaliknya, saat hari besar dan harus ke Borobudur juga ditemani," imbuhnya.
![]() |