Rumah kayu di pelosok Perbukitan Menoreh, Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) ternyata pernah menjadi markas darurat bagi pejuang sandi dalam mempertahankan kemerdekaan pada masa Agresi Militer Belanda ke-2. Diberi nama Rumah Sandi, bangunan ini telah dijadikan museum untuk mengenang perjuangan para pahlawan di balik layar. Seperti apa kisahnya?
Rumah Sandi. Begitulah nama yang disematkan kepada sebuah bangunan bergaya joglo yang terletak di lereng Perbukitan Menoreh, wilayah Dusun Dukuh, Kalurahan Purwoharjo, Kapanewon Samigaluh, Kulon Progo.
Rumah dengan konstruksi kayu dan anyaman bambu ini tampak berdiri megah di tengah pekarangan yang dihimpit tebing dan jurang. Terdapat pula halaman luas untuk tempat parkir dan sebuah taman yang kini sedang dalam masa renovasi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Rumah Sandi sendiri sebenarnya adalah hunian warga yang kini telah disulap menjadi museum sejarah sejak 2014 lalu. Ini juga bagian dari Museum Sandi yang terletak di Kota Baru, Jogja.
Di dalam Rumah Sandi Dusun Dukuh, terdapat sejumlah koleksi peninggalan yang menjadi saksi bisu perjuangan para pejuang sandi dalam mempertahankan kemerdekaan bangsa ini.
"Jadi bangunan ini namanya Rumah Sandi. Nah rumah sandi ini adalah markas darurat persandian saat agresi militer Belanda ke-2 yaitu pada Desember 1948," ujar Analis Koleksi Museum Sandi, Imas Aulia Ruandini, saat ditemui di lokasi, Sabtu (15/7/2023).
![]() |
Imas pun menceritakan awal mula rumah ini dijadikan markas darurat. Semua berawal saat bala tentara Belanda membombardir Kota Jogja pada 19 Desember 1948 pagi sekitar pukul 5.45 WIB. Serangan ini biasa disebut Agresi Militer Belanda ke-2.
Hal itu membuat Kolonel Roebiono Kertopati, atau yang dikenal sebagai Bapak Persandian Indonesia, geram. Dia pun menginstruksikan petugas sandi (Code Officer/CDO) yang bertugas di Kantor Sandi, Jalan Batanawarsa No 32 Jogja, untuk segera mengevakuasi dokumen-dokumen penting ke tempat lain.
Para petugas sandi di antaranya Letnan Soedijatmo dan Letnan Soemarkidjo pun memutuskan mengevakuasi diri ke wilayah Kulon Progo, tepatnya di Dusun Dukuh, Purwoharjo, Samigaluh. Lokasi ini dipilih karena dinilai aman dari serangan musuh.
"Jadi Pak Soedijatmo dan Seomarkidjo ini pindah dari kantor sandinya yang di Jogja ke Kulon Progo, tepatnya di Dusun Dukuh Purwoharjo. Nah dipilihnya tempat ini karena dirasa aman dari musuh," jelas Imas.
Imas menerangkan para petugas sandi ini menempati sebuah rumah milik warga bernama Merto Setomo. Rumah itu dijadikan markas darurat untuk keperluan berkirim informasi rahasia selama masa Agresi Militer Belanda ke-2. Karena itu rumah ini juga biasa disebut Kamar Sandi Negara.
"Selama masa militer Belanda 2 rumah milik Pak Merto Setomo ini di menjadi tempat untuk berkirim informasi rahasia dan sebagai markas check poin kedua orang yang akan bertemu dengan Kolonel TB Simatupang, Wakil Staff Angkatan Perang pada saat itu," terangnya.
Imas mengatakan hadirnya markas darurat ini melecutkan semangat warga Dusun Dukuh termasuk keluarga Mertosetomo dalam upaya mempertahankan kemerdekaan Indonesia kala itu. Bahkan anak kedua Mertosetomo, yaitu Ponijan ikut terlibat dalam upaya tersebut.
"Pak Ponijan, anak dari Pak Mertosetomo ini beberapa kali dimintai bantuan menjadi kurir informasi oleh petugas sandi. Tugasnya waktu itu mengirimkan informasi rahasia ke berbagai tempat di Kulon Progo," ucapnya.
Rumah itu kini jadi museum. Simak selengkapnya di halaman selanjutnya.
Markas darurat sandi di Dusun Dukuh ini beroperasi selama 6 bulan terhitung sejak Januari-Juni 1949. Seiring berakhirnya agresi militer Belanda ke-2, rumah ini pun tak lagi difungsikan sebagai markas darurat sehingga dikembalikan kepada keluarga Merto Setomo.
Pada 2014, Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) memberikan kompensasi kepada generasi penerus Merto Setomo untuk mengambil alih rumah tersebut guna dijadikan museum perjuangan.
"Iya jadi keluarga kami sudah dapat ganti rugi dari BSSN sehingga rumah ini menjadi hak BSSN. Nah kami sekeluarga sudah pindah sejak 2010, tapi rumah baru kami masih di lingkungan Dusun Dukuh," ucap Ngadiman, cucu dari Merto Setomo.
Ngadiman mengaku tidak keberatan rumah peninggalan leluhurnya dijadikan museum. Dia justru merasa bangga dan terharu karena rumah ini menjadi saksi pahit dan manisnya perjuangan mempertahankan kemerdekaan bangsa ini.
"Sama sekali tidak keberatan, justru sangat rela dan saya merasa bangga bahwa dulunya rumah ini dan keluarga saya yang latar belakangnya petani dan pembuat kayu ikut terlibat dalam upaya mempertahankan kemerdekaan bangsa ini," ujarnya.
Di Rumah Sandi, pengunjung dapat melihat jejak-jejak sejarah perjuangan para petugas sandi negara pada masa Agresi Militer Belanda 2. Beberapa barang peninggalan yang masih otentik di sini meliputi bangunan rumah, tempat tidur, meja dan kursi tempat di mana para petugas sandi bekerja.
Terdapat pula diorama para petugas sandi yang tengah bekerja, potret orang-orang yang terlibat dalam operasional markas darurat ini hingga peta jejaring radio pada masa kemerdekaan ke dua.
Tak hanya melihat-lihat barang koleksi saja, pengunjung Rumah Sandi juga bisa belajar menyusun kode rahasia secara sederhana yang diajarkan langsung oleh pihak pengelola.
Bagi pengunjung yang berminat ke sini, tidak perlu merogoh kocek. Sebab, kunjungan ke rumah sandi gratis untuk seluruh kalangan.