Swike Kodok Khas Purwodadi, Ini Sejarah dan Cita Rasanya

Swike Kodok Khas Purwodadi, Ini Sejarah dan Cita Rasanya

Ulvia Nur Azizah - detikJateng
Kamis, 23 Okt 2025 17:18 WIB
Hukum makan katak atau swike dalam Islam
Ilustrasi swike purwodadi. Foto: Getty Images/iStockphoto
Solo -

Siapa sangka, kota kecil di Kabupaten Grobogan ini menyimpan kuliner yang melegenda hingga lebih dari satu abad. Namanya swike, hidangan khas Purwodadi yang berbahan dasar daging katak sawah. Meski terdengar unik, makanan ini justru menjadi ikon kuliner daerah dan membuat Purwodadi dikenal luas sebagai Kota Swike.

Singkatnya, swike merupakan warisan kuliner peranakan Tionghoa yang beradaptasi dengan cita rasa lokal. Cita rasanya gurih, lembut, dan kaya rempah, terutama karena racikan tauco yang menjadi kunci kelezatannya. Hingga kini, rumah makan legendaris seperti Ci Ping tetap mempertahankan resep turun-temurun sejak berdiri pada 1901.

Menariknya, perjalanan swike tak berhenti di situ. Hidangan ini terus berevolusi dari resep tradisional hingga muncul varian swike halal di awal tahun 2000-an. Penasaran bagaimana sejarah dan cita rasa khas swike Purwodadi berkembang dari generasi ke generasi? Simak penjelasan lengkapnya berikut ini!

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Poin utamanya:

  • Swike adalah kuliner khas Purwodadi berbahan dasar katak sawah yang berasal dari pengaruh kuliner peranakan Tionghoa.
  • Cita rasa swike yang gurih dan lembut berasal dari perpaduan bumbu tradisional dengan tauco buatan sendiri yang menjaga keaslian rasanya.
  • Sejak tahun 2000-an, muncul varian swike halal berbahan ayam, mentog, dan ikan untuk menyesuaikan dengan masyarakat mayoritas muslim.

ADVERTISEMENT

Apa Itu Swike Kodok Khas Purwodadi?

Dikutip dari buku Warna-warni Cerita Daerah tulisan Gudel Lestari dan Luvita Amelia serta Paha Kodok tulisan FG Winarno, swike adalah makanan tradisional khas Purwodadi, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, yang berbahan dasar daging katak sawah atau kodok hijau. Jenis katak yang digunakan biasanya berasal dari area persawahan karena dagingnya dianggap lebih lembut dan segar.

Makanan ini begitu melekat dengan identitas daerah Purwodadi hingga kota ini dijuluki sebagai Kota Swike. Di sepanjang kawasan Purwodadi, sangat mudah menemukan warung makan atau restoran yang menyajikan hidangan ini.

Asal mula swike dikaitkan dengan pengaruh kuliner peranakan Tionghoa yang kemudian beradaptasi dengan cita rasa lokal. Hidangan ini dianggap unik karena menggunakan bahan yang jarang ditemui dalam masakan tradisional lain di Indonesia.

Walau bagi sebagian orang daging katak dianggap aneh atau menjijikkan karena habitatnya di rawa dan sawah, namun di kalangan penikmatnya, swike justru dikenal memiliki tekstur daging yang lembut dan khas seperti ayam.

Di Purwodadi, salah satu rumah makan legendaris yang terkenal dengan swike-nya adalah Rumah Makan Ci Ping. Berdiri sejak tahun 1901, tempat ini kini dikelola oleh generasi kelima, Shanty Tjandrawati. Setiap harinya, mereka mengolah hingga 50 kilogram paha kodok untuk memenuhi permintaan pelanggan.

Popularitas swike Purwodadi bahkan telah meluas ke berbagai daerah seperti Yogyakarta dan Semarang. Dari warung sederhana hingga restoran besar, hidangan ini tetap mempertahankan racikan bumbu tradisional yang diwariskan turun-temurun.

Bagaimana Cita Rasa Swike?

Masih dihimpun dari buku yang sama, cita rasa swike khas Purwodadi dikenal gurih, lembut, dan kaya rempah. Rasa ini muncul dari perpaduan bahan utama berupa daging katak dengan racikan bumbu tradisional yang kuat.

Umumnya, swike dimasak menggunakan jahe, bawang putih, garam, lada, dan bahan utama yang membuatnya khas, yaitu tauco. Kuahnya yang hangat dan aromatik memberikan sensasi tersendiri, apalagi ketika disajikan dengan nasi putih hangat, taburan bawang goreng, dan daun seledri segar di atasnya.

Menurut para penikmat kuliner, rasa swike menghadirkan perpaduan manis, asam, asin, dan sedikit pedas yang menyatu sempurna. Kuahnya kental, meresap hingga ke tulang, dan semakin nikmat bila diberi perasan jeruk nipis. Bondan Winarno, seorang pengulas kuliner legendaris Indonesia, bahkan menyebut rasa swike Purwodadi sebagai "mak nyus" karena keseimbangan bumbunya yang sempurna dan aroma khas tauco-nya yang menggugah selera.

Peran tauco dalam kelezatan swike tidak bisa diabaikan. Bumbu hasil fermentasi kedelai ini menjadi kunci utama cita rasa. Semakin kuat karakter taoco-nya, semakin lezat pula hasil masakan. Di Purwodadi, tauco biasanya dibuat sendiri untuk menjaga kualitas dan kekhasan rasa yang diinginkan. Proses ini membedakan swike Purwodadi dari daerah lain karena cita rasa yang dihasilkan lebih tajam dan seimbang.

Sejarah dan Perkembangan Swike

Berdasarkan skripsi berjudul Perkembangan Kuliner Swike Halal di Kota Purwodadi pada Tahun 2000-2007 karya Khaerul Wafa Izzani dari UIN Salatiga, swike memiliki sejarah yang panjang. Yuk, simak penjelasan lengkapnya!

1. Awal Mula Kemunculan

Swike merupakan kuliner yang dipopulerkan di Purwodadi oleh etnis Tionghoa dan merupakan masakan Cina-Indonesia. Hidangan ini berbahan dasar kaki katak, yang dapat diolah menjadi berbagai bentuk, seperti sup, digoreng kering, atau ditumis.

Resep ini awalnya dipengaruhi oleh masakan Cina yang masuk ke Indonesia. Bahan utama yang digunakan adalah kaki katak hijau, dimasak dengan bumbu seperti bawang putih, jahe, dan pasta kedelai fermentasi atau tauco.

Hidangan swike telah menjadi ikon kuliner khas Purwodadi sejak tahun 1901. Salah satu rumah makan swike yang paling terkenal adalah Swike Asli Purwodadi. Tempat makan ini didirikan oleh Kong Giring, yang merupakan generasi pertama dari usaha tersebut. Lokasinya berada di Jalan Kol. Sugiono 11, Purwodadi.

Meskipun tahun 1901 dicatat sebagai tahun berdirinya, Kong Giring sebenarnya sudah mulai menjual swike sebelum tahun 1900. Pada masa-masa awalnya, ia menjual dagangannya dengan cara berkeliling berjalan kaki sambil menggunakan pikulan.

Tahun 1901 dipilih sebagai tahun awal eksistensi karena pada tahun itulah rumah tempat makan yang juga berfungsi sebagai warung tetap didirikan. Sejak saat itu, Kong Giring tidak lagi menjual swike secara keliling.

2. Penerus dari Generasi ke Generasi

Usaha Swike Asli Purwodadi ini telah mengalami pergantian generasi hingga generasi kelima. Generasi pertama adalah sang pendiri, Kong Giring. Usaha ini kemudian dilanjutkan oleh generasi kedua, Kong Gwan Ling. Generasi ketiga adalah Liem Gwan Tjay, yang meninggal pada tahun 1987. Selanjutnya, usaha ini diteruskan oleh generasi keempat, Oei Giem Nio.

Saat ini, usaha tersebut dikelola oleh generasi kelima, yaitu kakak-beradik Tjan Giok Lien (Endang Lestari Ningsih) dan Cik Ping (Shanty Tjandra Wati). Tjan Giok Lien mengelola warung Swike Asli Purwodadi yang bersejarah sejak 1901 di Jalan Kolonel Sugiyono 11, Purwodadi. Adiknya, Cik Ping, mengelola cabang warung swike di Semarang sejak tahun 1997, serta membuka cabang lainnya di Jogja.

Para pemilik Rumah Makan Swike Asli di Purwodadi berkomitmen untuk melestarikan tradisi swike asli dengan tetap menggunakan daging katak. Mereka mempertahankan resep dan cara memasak tradisional demi menjaga keaslian serta keunikan hidangan tersebut. Swike asli dengan bahan katak ini tetap menjadi bagian dari identitas kuliner Purwodadi yang dicari oleh wisatawan.

Selain melestarikan resep, para pengelola bisnis ini juga menekankan pentingnya kualitas bahan baku. Mereka bekerja sama dengan pemasok yang dapat menyediakan daging katak segar dan berkualitas tinggi untuk menjaga rasa serta tekstur yang autentik. Meskipun resep tradisional dipertahankan, di rumah makan milik Cik Ping dilakukan pula inovasi dalam hal presentasi hidangan agar terlihat lebih menarik secara visual.

3. Era Inovasi Halal (Tahun 2000-2007)

Perkembangan swike memasuki babak baru pada awal tahun 2000-an. Hal tersebut didorong oleh latar belakang masyarakat Purwodadi (Kabupaten Grobogan) yang mayoritas (lebih dari 98,68%) beragama Islam.

Dalam hukum Islam, katak termasuk binatang yang dilarang untuk dikonsumsi atau haram. Popularitas swike sebagai ikon kuliner Purwodadi menghadapi kendala teologis ini, sehingga swike diterima secara 'setengah hati' oleh masyarakat internal Grobogan karena aspek keharamannya.

Untuk menyudahi dilema tersebut, masyarakat kemudian berkreasi mengganti bahan kodok yang non-halal dengan bahan yang halal. Banyak pedagang muslim mulai membuka usaha rumah makan swike dengan menggunakan bahan baku yang halal.

Salah satu pelopornya adalah Bu Jumanah, yang mulai membuka rumah makan swike ayam pada tahun 2000. Warung ini menggunakan bahan baku seperti ayam, mentog, bebek, dan ikan yang tentunya halal dan dapat dinikmati semua kalangan.

Secara etimologi, penamaan 'swike ayam' sebenarnya tidak lazim. Istilah 'swike' berasal dari dialek Hokkian 'Sui-ke', di mana 'Sui' berarti air dan 'ke' berarti ayam. Istilah ini digunakan sebagai sebutan halus untuk katak, yaitu 'ayam air'. Meskipun secara bahasa menjadi tidak konsisten jika digabung dengan ayam, varian swike ayam, mentok, dan bebek menjadi bentuk kompromi yang diterima dan kini menjadi bagian baru dalam warisan kuliner Grobogan.

Inovasi ini tidak berhenti pada bahan baku. Memasuki tahun 2006, semakin banyak masyarakat yang berinovasi melalui bumbu yang digunakan, sehingga muncul varian seperti Swike Ayam Kuah Tauco, Swike Rica-rica, swike kecap, dan swike mercon.

Pada tahun 2007, mulai bermunculan rumah makan swike halal lainnya, seperti warung Bu Munirah (berbahan dasar ikan dan bebek) dan warung Bu Siti (swike ayam bumbu Thonkzenk). Adanya varian-varian baru ini semakin mengukuhkan citra Purwodadi sebagai 'Kota Swike'.

Bagi pencinta kuliner unik, swike Purwodadi bisa menjadi pengalaman rasa yang tak terlupakan. Cobalah mencicipinya langsung di kota asalnya dan rasakan perpaduan tradisi, sejarah, dan cita rasa yang telah bertahan lebih dari seabad. Siapa tahu, kamu bisa menemukan sensasi "mak nyus" yang pernah diungkapkan Bondan Winarno!




(par/apl)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads