Kisah Mbah Ratman Klaten Tiap Hari Ngonthel Jajakan Lumpia Duleg di Usia Senja

Kisah Mbah Ratman Klaten Tiap Hari Ngonthel Jajakan Lumpia Duleg di Usia Senja

Achmad Husain Syauqi - detikJateng
Senin, 29 Sep 2025 18:48 WIB
Mbah Ratman asal Klaten saat menjajakan lumpia duleg di Gatak, Sukoharjo.
Mbah Ratman asal Klaten saat menjajakan lumpia duleg di Gatak, Sukoharjo. Foto: Achmad Husain Syauqi/detikJateng
Klaten -

Suratman atau Mbah Ratman, penjual lumpia duleg atau lompya duleg asal Desa Gatak, Kecamatan Delanggu, Klaten memiliki keuletan yang patut dicontoh. Di usianya yang tidak muda, setiap hari kakek 73 tahun itu ngonthel untuk menjajakan kuliner khas desanya.

Menemukan Mbah Ratman tidaklah sulit karena warga perbatasan Kecamatan Wonosari, Klaten dan Kecamatan Gatak, Kabupaten Sukoharjo cukup mengenalnya. Tukang parkir, siswa sekolah, pedagang makanan sampai warga yang ditanya detikJateng tahu benar sosok Mbah Ratman.

"Oooo, itu mbah yang jualan lompya pake sepeda. Biasanya mangkal di dekat SMPN 1 Gatak, kadang depan Puskesmas, kadang depan SD," ungkap seorang juru parkir kepada detikJateng, Selasa (29/9/2025) siang.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Saat didatangi di tempat mangkalnya di Jalan Pramuka, Blimbing, Gatak, Sukoharjo, kakek berbaju Koko itu tengah sibuk melayani pembeli di trotoar samping pagar SMPN. Sekitar 10 menit ada 8 pembeli yang datang bergantian.

Dengan cekatan penuh senyum, tangan tua Mbah Ratman memungut lompya duleg dengan capit stainless dimasukkan plastik. Makanan mirip lumpia seukuran jari telunjuk berbahan terigu, tepung pati onggok, tauge dan cocolan kuah gula Jawa bumbu bawang itu dijual Rp 200 per biji.

ADVERTISEMENT
Suratman atau Mbah Ratman saat menjajakan lompya duleg khas Klaten. Foto diunggah Senin (29/9/2025).Suratman atau Mbah Ratman saat menjajakan lompya duleg khas Klaten. Foto diunggah Senin (29/9/2025). Foto: Achmad Husain Syauqi/detikJateng

"Saya sebenarnya jualan lompya sejak tahun 1970-an tapi setelah berkeluarga sempat jadi tukang batu sampai Semarang, Yogyakarta dan Jakarta. Tahun 2006 berhenti nukang, jualan ini (lompya) lagi," ungkap Suratman kepada detikJateng mengawali ceritanya.

Lompya duleg itu dibuat di rumah bersama istrinya. Setiap hari mulai pukul 08.00 WIB dirinya keluar rumah menjajakan lompya.

"Biasanya jam 08.00 WIB, kadang 09.00 WIB, nggak mesti. Pulang ya tidak tentu, setelah habis baru pulang, dari sini biasanya ke Wonosari depan kecamatan, ke Teloyo dekat SPBU, pulang lewat Samben (Wonosari) ke barat," terang Suratman.

Mbah Ratman melayani pelanggan lompya duleg di Gatak, Sukoharjo.Mbah Ratman melayani pelanggan lompya duleg di Gatak, Sukoharjo. Foto: Achmad Husain Syauqi/detikJateng

Dalam satu hari, kata Suratman, dirinya biasa membawa 1.300 biji lompya duleg keliling ke tempat- tempat mangkalnya itu. Kadang sehari habis tapi kadang juga tidak.

"Nggih mboten mesti telas (ya tidak mesti habis), yang penting kita syukuri. Harganya Rp 1.000 dapat 5 biji lompya, kalau mau mahal-mahal ya buat apa, ini itung-itung berbagi," ucap Suratman yang punya dua anak dan dua cucu.

Dikatakan Suratman, meskipun usianya sudah tidak muda tapi tidak gengsi berjualan karena terbiasa beraktivitas, bekerja dan merantau. Justru jika duduk di rumah tidak betah.

"Di rumah itu tidak betah, dunia seperti berhenti berputar, jarang libur saya. Beda kalau jualan begini tidak terasa tahu - tahu sudah siang, sore lalu pulang," lanjut Suratman.

Lala, seorang pelanggan yang dulu kali datang membeli lompya mengatakan dirinya sering membeli karena rasanya enak. Harganya murah dan sehat.

"Harganya murah Rp 1.000 dapat lima, bentuknya unik, rasanya enak, sehat karena cuma terigu dan tauge," kata Lala.

Yumna, pelanggan lain mengatakan setiap hari mampir beli ke Mbah Ratman. Kadang ayahnya yang pesan minta dibelikan.

"Ini belikan bapak, kadang bapak pesen tapi saya juga beli. Murah dan sehat tanpa pengawet dan pewarna," ungkap Yumna kepada detikJateng.

Istri Suratman, Sri Mulyani mengatakan lompya duleg yang dijual bikinan sendiri. Meski naik sepeda onthel, suaminya jarang libur.

"Tidak pernah libur. Hari Sabtu dan Minggu itu malah paling ramai, hari biasa bawa 1.300 tapi kalau Minggu sampai 1.500 biji," kata Sri kepada detikJateng di rumahnya.




(afn/aku)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads