Kue moho menjadi salah satu makanan legendaris khas Solo, Jawa Tengah yang menjadi pelengkap sesajen umat Konghucu menjelang Imlek. Keberadaan kue moho ini pun terbilang langka.
"Masuk kategori langka jelas, karena kue moho bisa dihitung dengan jari, beda dengan kue serabi yang bisa dijumpai di banyak tempat di Solo," jelas sejarawan muda Kota Solo, Heri Priatmoko saat berbincang dengan detikJateng via telepon, Jumat (21/1/2022).
Heri menyebut di Kota Solo hanya ada dua lokasi yang menjual kue berbahan gandum dan air tape ini. Yakni di Kampung Baluwarti dan juga di Kampung Baru Banjarsari.
"Dalam tafsiran saya kue moho merupakan bagian dari kreativitas lokal, terinspirasi dari kue bolu. Namun berbeda dari segi tekstur dan bahan, dari empuk dan juga padatnya berbeda," ujar Heri.
Dosen sejarah di Fakultas Sastra Universitas Sanata Darma Jogjakarta ini menuturkan kue maho juga kerap menjadi kudapan rumahan. Dalam sejarah kuliner kue moho biasa menjadi teman minum teh atau kopi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sebagai kreativitas lokal masyarakat yang bisa diterima lintas kelas. Bisa dimakan sopir becak ataupun juga bos, sehingga kue moho mampu melewati sekat sosial lintas kelas. Lintas ekonomi, bahkan juga lintas agama, sosial dan etnis," jelasnya.
"Orang Arab juga suka, orang China pun juga tidak masalah, sehingga kue moho menjadi milik bersama," tambahnya.
![]() |
Heri menyebut kue moho memang istimewa. Sebab, tak hanya sebagai pendamping minum teh atau kopi, kue moho ini juga biasa dijumpai sebagai pelengkap sesajen di kelenteng.
"Istimewa karena bahannya gampang dicari, sehingga kue moho ini hidup dalam dua ruang. Yakni ruang untuk spiritual yakni bisa untuk sesaji dan juga ruang sosial, bisa disantap sehari-hari," ujar Heri.
"Inilah kekuatan kue moho di tengah masyarakat, mampu hadir dalam kehidupan sehari-hari. Siapa pun bisa untuk dimakan sehari-hari, sehingga kalau rindu tinggal mencari tidak perlu menunggu waktu ada ritual saja," pungkas dia.
(ams/rih)