Psikolog UGM Soroti Perilaku Flexing, Wanti-wanti Jadi Toksik Diri Sendiri

Psikolog UGM Soroti Perilaku Flexing, Wanti-wanti Jadi Toksik Diri Sendiri

Jauh Hari Wawan S - detikJateng
Rabu, 01 Mar 2023 11:34 WIB
Mario Dandy Satrio
Mario Dandy Satrio sering pamer Rubicon-Harley Davidson di medsos (Foto: Istimewa)
Sleman -

Belakangan ini publik banyak disuguhkan dengan perilaku flexing atau pamer harta kekayaan. Pakar psikologi sosial UGM, Lu'luatul Chizanah mengatakan bahwa flexing sengaja dilakukan untuk menunjukkan kepemilikan material maupun properti yang dianggap bernilai bagi kebanyakan orang.

"Flexing menjadi fenomena yang mencuat seiring dengan perkembangan media sosial. Kehadiran media sosial memberi kesempatan bagi orang-orang untuk lebih menunjukkan diri atas kepemilikan material atau properti yang dianggap memiliki nilai bagi kebanyakan orang," kata Chizanah dalam keterangan tertulis, Rabu (1/3/2023).

Dikatakannya, orang yang menunjukkan perilaku flexing di media sosial mengindikasikan self esteem atau harga diri yang lemah. Tanpa disadari orang yang kerap melakukan flexing sebenarnya tidak mempunyai kepercayaan terhadap nilai dirinya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Flexing dilakukan sebagai upaya untuk menutupi kekurangan harga diri dengan membuat orang lain terkesan.

"Dengan memposting sesuatu yang dinilai berharga bagi kebanyakan orang dan di-like ini seperti divalidasi, merasa hebat dan berharga karena orang-orang menjadi kagum pada dirinya," terangnya.

ADVERTISEMENT

Dosen Fakultas Psikologi UGM itu menyebutkan orang yang melakukan flexing di media sosial salah satunya ditujukan untuk mendapatkan pengakuan dalam kelompok. Dalam konteks pembentukan relasi atau pertemanan, membutuhkan pengakuan agar bisa diterima di lingkungan tertentu.

"Teknik manajemen impresi dengan memamerkan barang-barang mewah dilakukan untuk membuktikan jika ia layak masuk dalam komunitas tertentu. Harapannya dengan memamerkan tas branded maka orang lain akan menilai selayak masuk kalangan elite," paparnya.

Perilaku flexing ini juga akan berdampak buruk ke arah impulsive buying. Seseorang akan menjadi sangat impulsif untuk membeli barang-barang branded hanya untuk flexing.

"Kalau flexing dilakukan sebagai awal pemantik perhatian dan selanjutnya menunjukkan sesuatu yang lebih esensial seperti kompetensi, personaliti yang baik itu tidak masalah. Akan jadi masalah jika flexing ini jadi satu-satunya cara untuk manajemen impresi, jadi toksik bagi diri sendiri," urainya.

Ia menambahkan bahwa setiap orang memiliki potensi untuk menunjukkan perilaku flexing. Kemampuan mengelola diri untuk melakukan flexing atau tidak menjadi sangat penting.

"Flexing untuk menunjukkan pencapaian, sesekali tidak apa. Namun saat kalau tidak posting menjadi cemas ini harus jadi alarm diri," pungkasnya.




(apl/ams)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads