Tugu Golong Gilig yang sekarang lebih dikenal sebagai Tugu Pal Putih atau Tugu Jogja menjadi saksi bisu terjadinya gempa darat yang pernah mengguncang Jogja dan sekitarnya pada 10 Juni 1867 silam. Dahsyatnya gempa menghancurkan tugu tersebut hingga akhirnya bentuknya berubah menjadi seperti saat ini.
Dilansir dari situs web Dinas Pariwisata Kota Jogja, Rabu (26/10/2022), Tugu Jogja dibangun pada masa raja Keraton Jogja yang pertama yaitu Sri Sultan Hamengku Buwono I pada 1755. Tugu itu berada di tengah perempatan Jalan Pangeran Mangkubumi, Jalan Jendral Soedirman, Jalan A.M Sangaji, dan Jalan Diponegoro.
Dalam situs pariwisata.jogjakota.go.id disebutkan, Tugu Jogja bermakna Manunggaling Kawula Gusti yang berati semangat persatuan rakyat dan penguasa untuk melawan penjajahan pada saat itu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Semangat persatuan atau yang disebut golong gilig itu digambarkan dengan tiang bangunan berbentuk gilig (silinder) dan puncaknya berbentuk golong (bulat), sehingga dinamakan Tugu Golong Gilig.
Tugu yang terletak di tengah garis imajiner antara Laut Selatan, Keraton Jogja, dan Gunung Merapi ini awalnya memiliki tiang silinder yang mengerucut ke atas, sementara bagian dasarnya berupa pagar yang melingkar, dan bagian puncaknya berbentuk bulat. Ketinggian tugu waktu itu mencapai 25 meter.
Lebih dari seabad setelah tugu itu berdiri, tepatnya 10 Juni 1867, terjadi gempa bumi dahsyat yang meluluhlantakkan Jogja. Akibatnya, sekitar 500 orang meninggal dan ratusan bangunan milik Keraton Jogja termasuk Tugu Jogja hancur.
Menurut situs resmi Arsip dan Perpustakaan Kota Jogja, arsipdanperpustakaan.jogjakota.go.id, bentuk fisik Tugu Jogja berubah drastis setelah gempa itu. Pada 1889, Pemerintah Belanda yang saat itu menduduki Jogja memperbaiki tugu tersebut dengan mengubah tugu menjadi persegi dan ujungnya dibuat meruncing.
Tiap sisi tugu kemudian dihiasi semacam prasasti yang menunjukkan siapa saja yang terlibat dalam renovasi itu. Adapun ketinggian tugu yang semula mencapai 25 meter berubah jadi lebih pendek, yakni 15 meter.
Selain bentuk fisiknya yang berubah, Belanda juga mengubah penyebutan tugu ini. Dari yang semula Golong Gilig menjadi De Witt Paal atau Tugu Pal Putih. Perubahan nama itu disebut sebagai taktik Belanda untuk memecah persatuan antara rakyat dan raja, meski pada akhirnya upaya itu tidak membuahkan hasil.
(dil/ams)