Babarsari Gotham City kini menjadi julukan yang disematkan netizen. Julukan ini ramai disematkan setelah adanya kerusuhan di Babarsari pada Senin (4/7).
Bahkan di Google Map, nama Babarsari yang terletak di Kelurahan Caturtunggal, Depok, Sleman ini diubah warganet menjadi Babarsari Gotham City. Gotham City merupakan kota fiksi besutan DC Comics yang menjadi tempat tinggal Batman.
Dalam cerita komik Gotham digambarkan sebagai kota yang penuh dengan konflik, kasus kriminalitas tinggi, dan menjadi sarang berbagai mafia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lantas apa analisis pakar soal julukan Babarsari Gotham City?
Sosiolog Kriminal UGM Soeprapto menilai Babarsari kemudian dilabeli Gotham City tak lepas dari kerusuhan-kerusuhan yang terjadi.
"Sebetulnya kan kalau dari segi Batman itu dia yang penolong, tapi pengganggunya itu yang dianggap sebagai kota Gotham," kata Soeprapto saat dihubungi wartawan, Rabu (6/7/2022).
"Karena selalu saja muncul gangguan yang datang tapi sayangnya Batmannya tidak datang. Yang datang perusuhnya," imbuhnya.
Kehadiran perusuh di dalam film Batman digambarkan sebagai penjahat atau mafia. Masyarakat, lanjutnya, kemudian menilai kehadiran perusuh itu seperti penjahat di Gotham City.
"Nah saya kira perusuhnya itu yang seolah-olah jadi kota itu, tapi andaikata Gotham ya tidak. Tapi di sini ternyata yang konflik sesama Gotham, sesama perusuh," bebernya.
Secara umum, ada beberapa faktor yang menyebabkan sering terjadi kerusuhan di Babarsari.
"Penyebab mengapa ricuh di Babarsari beberapa kali terjadi. Hal ini disebabkan oleh pertama, warga Babarsari sangat heterogen dalam hal suku bangsa, agama, ras, dan asal daerah, yang memiliki kebiasaan, budaya, dan adat istiadat berbeda," urainya.
Faktor selanjutnya karena buruknya interaksi antarwarga. Termasuk pendatang dengan pendatang.
"Kedua intensitas interaksi antara warga dan pendatang tidak terjalin dengan baik karena masing-masing merasa sibuk," ucapnya..
Ketiga munculnya fasilitas umum seperti tempat hiburan juga menjadi andil meningkatnya kerawanan di Babarsari.
"Ketiga bermunculannya fasilitas pendidikan, warung makan, kafe, dan tempat hiburan juga menjadi pemicu kerawanan konflik," jelas dia.
Label negatif yang melekat Babarsari ini tentu tidak mudah lepas. Hal ini pun diamini oleh Soeprapto. Menurutnya, semua pihak harus terlibat untuk menghapus stigma negatif itu.
"Untuk melepas itu harusnya siapapun yang ada di sana secara sistemik segala unsur yang ada di sana, pendatang maupun warga setempat, aparat, secara terintegratif meminimalkan tindakan penyelesaian melalui tindakan kekerasan," pungkasnya.
(ams/sip)