Meneri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati menyebut kasus kekerasan yang terjadi pada perempuan dan anak terus meningkat selama pandemi COVID-19. Bintang mengatakan kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia merupakan isu yang kompleks dan butuh keterlibatan dari semua kalangan.
"Oleh karena itu dalam penanganan isu ini, membutuhkan keterlibatan dari semua pihak khususnya dalam kerangka berpikir yang sama bahwa kekerasan seksual merupakan kejahatan luar biasa karena merenggut kemerdekaan seseorang," kata Bintang saat webinar bertajuk 'Negara dan Peran Muhammadiyah dalam Perlindungan Tindak Pidana Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan dan Anak-Anak' yang digelar Pusat Studi Muhammadiyah (PSM) UMY, Selasa (25/1/2022).
Bintang menyebut kasus kekerasan yang terjadi pada perempuan dan anak terus meningkat selama pandemi COVID-19. Peningkatan itu mulai belasan hingga puluhan persen.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Selama pandemi COVID-19 kasus kekerasan yang terjadi pada perempuan dan anak terus meningkat. Seperti jumlah kasus meningkat 18,32 persen pada kasus perempuan, 28,54 persen pada kasus anak dan jumlah korban meningkat 17,97 persen pada kasus perempuan serta meningkatnya korban anak sejumlah 28,72 persen," ungkapnya.
Secara detail, persentase perempuan korban kekerasan yang terlaporkan menurut jenis kekerasan pada tahun 2021 antara lain 39 persen perempuan mengalami kekerasan fisik. Sedangkan 30 persen mengalami kekerasan psikis, 12 persen mengalami kekerasan seksual, 10 persen mengalami penelantaran dan 2 persen mengalami tindak pidana perdagangan orang (TPPO).
"Sedangkan kekerasan yang dialami pada anak mayoritas mengalami kekerasan seksual dengan persentase sebanyak 45 persen, psikis 19 persen, fisik 18 persen dan penelantaran anak sebanyak 5 persen," ujarnya.
Dari kasus tersebut, beberapa upaya pemerintah untuk menangani kasus kekerasan pada perempuan dan anak adalah mendorong pengesahan RUU TPKS. Selain itu, pihaknya memberikan pendampingan terhadap korban kekerasan seksual.
"Upaya pemerintah dalam melindungi perempuan dan anak adalah secara payung hukum mendorong pengesahan RUU TPKS. Kemudian memberikan pendampingan melalui layanan SAPA 129 dan dari segi kelembagaan menyediakan lembaga yang memiliki fokus pada perlindungan perempuan dan anak," katanya.
Bintang menyebut salah satu faktor adanya kasus kekerasan seksual pada perempuan dan anak adalah konstruksi sosial patriarki yang menempatkan perempuan dan anak pada berbagai kerentanan yang mengancam kualitas hidupnya.
"Ketimpangan relasi kuasa merupakan akar dari fenomena kekerasan termasuk kekerasan seksual yang mengancam kehidupan anak-anak dan perempuan Indonesia sejak dulu hingga hari ini," ujarnya.
Sementara itu, Ketua Majelis Hukum dan HAM PP Aisyiyah Dr Atiyatul Ulya mengutuk dengan tegas berbagai bentuk kekerasan seksual apalagi yang membahayakan terhadap perlindungan dan penghormatan martabat kemanusiaan, generasi, dan agama. Beberapa upaya telah dilakukan pihaknya untuk mencegah dan menangani kasus tersebut.
"Berbagai upaya pencegahan dan penanganan telah dilakukan oleh Muhammadiyah dan Aisyiyah, di antaranya dengan melakukan sosialisasi konsep keluarga sakinah yang telah ditetapkan oleh Majelis Tarjih," ujarnya.
"Selain itu, kami juga melakukan pendampingan untuk korban dengan memberikan layanan yang dibutuhkan melalui Pos Bantuan Hukum (Posbakum) Aisyiyah," lanjut Ulya.
Atiyatul menambahkan, pendampingan yang diberikan sangat beragam. Mulai dari pendampingan hukum, psikologis, spiritual, medis, hingga rehabilitasi.
"Aisyiyah juga turut serta melakukan kajian terhadap RUU PKS atau RUU TPKS secara rutin dari berbagai perspektif," katanya.
(rih/sip)