Jaksa Penyidik di Kejaksaan Agung, Sarimonang Beny Sinaga, memandang aturan restoratif dalam peraturan tindak pidana di Kejaksaan dan Kepolisian perlu diperbaharui. Hal ini diungkap dalam disertasi untuk memperoleh gelar doktor pada program studi ilmu hukum Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto.
Dalam disertasinya yang berjudul Reformulasi Pengaturan Keadilan Restoratif Dalam Penanganan Perkara Tindak Pidana di Kepolisian dan Kejaksaan untuk Mewujudkan Unifikasi Hukum, Beny mengatakan terdapat perbedaan aturan restoratif di kejaksaan dan kepolisian.
"Pengaturan existing di peraturan kepolisian dan kejaksaan itu pada prinsipnya dalam membatasi tindak pidana itu berbeda, sehingga tidak ada kepastian hukum. Kemudian batasan tindak pidana pada peraturan tersebut dimaknai secara sempit," kata Beny usai ujian disertasi di kampus Unsoed Purwokerto, Kamis (28/8/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Beny, seharusnya pendekatan restoratif untuk menyelesaikan tindak pidana harus dilihat secara luas. Sebab setiap tindak pidana, sangat memungkinkan untuk diselesaikan secara Restorative Justice (RJ).
"Padahal sebenarnya dalam metode pendekatan restoratif untuk menyelesaikan tindak pidana, harusnya dimaknai secara luas. Karena setiap tindak pidana itu dapat diselesaikan dengan metode RJ," terangnya.
Asalkan, lanjut Beny setiap yang terlibat mau sepakat dalam penyelesaian kasus tindak pidana.
"Yang penting setiap pemangku kepentingan dalam hal ini pelaku, korban, maupun masyarakat terdampak dapat menyepakati dan menyelesaikan persoalan ini dengan metode pendekatan RJ," jelasnya.
Dari studi kasus ini Beny lalu menganalisa lebih jauh soal perbedaan pengaturan restoratif.
"Jadi latar belakangnya karena ada perbedaan di peraturan existing yang kemudian kita analisa, nah ternyata peraturan kedua existing ini juga masih membatasi tindak pidana ringan yang dapat diselesaikan dengan metode RJ. Padahal sebenarnya bukan seperti itu," ungkap dia.
Ia berharap melalui penelitian ini, bisa menjadikan pedoman bagi pemangku kepentingan seperti DPR, dan Presiden. Terlebih saat ini tengah membahas RUU KUHP.
"Saya berharap penelitian ini nantinya tersampaikan kepada aparat penegak hukum yang paling khusus itu para pemangku kebijakan, dalam hal ini DPR maupun Presiden, agar sekiranya disertasi ini menjadi pedoman bagi mereka dalam penyusunan rancangan Undang-Undang KUHP," paparnya.
"Jangan sampai rancangan Undang-Undang KUHP itu membatasi penyelesaian suatu kasus terkait dengan metode RJ hanya pada tindak pindahan ringan. Itu yang nggak boleh sebenarnya, karena kalau membatasi sehingga kepastian atau keadilan maupun kemanfaatan itu jadi terkendala. Ada keadilan yang tertunda," pungkasnya.
(afn/ams)