Saksi dalam kasus dugaan korupsi Plaza Klaten yang melibatkan dua mantan Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Klaten mengungkap adanya kejanggalan dalam pemberian izin PT MMS sebagai pengelola Plaza Klaten. Dokumen itu disebut ditandatangani para pejabat dengan cepat.
Hal itu dikatakan Pegawai Dinas Koperasi Usaha Kecil Menengah dan Perdagangan (DKUKMP) Kabupaten Klaten, Joko Purnomo, yang hadir sebagai saksi untuk Terdakwa Jaka Sawaldi dan Jajang Prihono di Pengadilan Tipikor, Kecamatan Semarang Barat.
Ia menyebut, kejanggalan itu terungkap saat dirinya diperiksa Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada 2022, dan diminta membuka email serta arsip dinas. Ia menemukan berkas ajuan penawaran PT MMS untuk mengelola Plaza Klaten yang sudah ditandatangani beberapa pejabat dalam kurun waktu sangat singkat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ada ketidaklaziman menurut saya. Biasanya kalau melalui prosedur standar, staf yang membawa surat itu dibawa ke satu OPD, biasanya ditinggal karena tidak mungkin staf itu berani meminta secara langsung," kata Joko di Pengadilan Tipikor, Semarang, Kamis (11/12/2025).
"Biasanya (surat pengajuan) ditinggal. Ada jeda waktu antara satu OPD dengan OPD yang lain, biasanya satu hari. Lah, di situ saya lihat bahwa jeda dalam satu hari itu langsung ada beberapa pejabat yang menandatangani," lanjutnya.
Joko mengaku baru mengetahui isi lengkap dokumen itu setelah pemeriksaan oleh BPK. BPK meminta Joko membuka email, dan mencari surat tersebut. Sebelumnya, ia mengaku tak membaca detail dan hanya menjalankan perintah.
"BPK meminta mencari surat itu. Setelah saya mencari di arsip, baru saya tahu bahwa itu adalah ajuan. Setelah itu baru saya membaca ajuan tadi, ada ketidaklaziman," ungkapnya.
"Karena ajuan ke Bupati itu selazimnya untuk setiap pejabat yang dilewati itu harus ada tanda tangan dan ada kolom pertimbangan. Tapi di situ tidak ada kolom pertimbangan. Langsung tanda tangan. Itu menurut saya sebuah kejanggalan," sambungnya.
Ketika jaksa menanyakan apakah dokumen tersebut termasuk keputusan Bupati, Joko menegaskan itu hanya ajuan dengan disposisi.
"Ada surat penawaran dari MMS kepada Bupati, terus Bupati mendisposisi surat itu ke DKUKMP untuk menindaklanjuti. Selanjutnya dari kepala dinas mendisposisi kepada Pak Kabid Pengelolaan Pasar Pak Didik Sudiarto," ujarnya.
"Terus dari Pak Didik Sudiarto memerintahkan saya untuk membuat surat undangan pembahasan rapat pembahasan penyewaan lahan ini," lanjutnya.
Joko juga mengaku pernah diperintah Didik Sudiarto yang juga merupakan terdakwa kasus itu, untuk mengirimkan file ajuan ke Bagian Hukum via email. Ia mengirim file tersebut tanpa membaca keseluruhan isi.
"Yang ajuan itu hanya halaman mukanya saja, halaman mukanya. Waktu itu yang saya kirim draft. Dari halaman depan itu belum ada paraf atau apapun," tuturnya.
Sebelumnya diberitakan, dua mantan Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Klaten, Jaka Sawaldi dan Jajang Prihono menjalani sidang perdana kasus korupsi pengelolaan Plaza Klaten. Keduanya didakwa menerima aliran uang dari pengusaha Jap Ferry Sanjaya yang menguasai Plaza Klaten secara tanpa proses lelang, dan merugikan negara hingga Rp 6,8 miliar.
"Telah melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri terdakwa Ferry Rp 6,5 miliar, Didik Sudiarto sebesar Rp 62,5 juta, Jaka Sawaldi sebesar Rp 311 juta, atau suatu korporasi, yang merugikan keuangan Negara Cq Pemda Klaten sebesar Rp 6,8 miliar," kata Jaksa Rudy di Pengadilan Tipikor, Kamis (4/12).
Dalam dakwaan, jaksa memaparkan kasus itu bermula saat Ferry mengajukan penawaran pada Januari 2020 untuk mengelola Plaza Klaten, padahal Pemkab belum melakukan proses lelang sebagaimana diatur Permendagri 19/2016.
(afn/ams)











































