Jaksa Ungkap Lobi-lobi Eks Sekda Klaten di Kasus Korupsi Rp 6,8 M

Jaksa Ungkap Lobi-lobi Eks Sekda Klaten di Kasus Korupsi Rp 6,8 M

Tim detikJateng - detikJateng
Jumat, 05 Des 2025 10:08 WIB
Jaksa Ungkap Lobi-lobi Eks Sekda Klaten di Kasus Korupsi Rp 6,8 M
Dua Eks Sekda Klaten Jaka Sawaldi (baju putih) dan Jajang Prihono (batik hijau) di Pengadilan Tipikor, Kota Semarang, Kamis (4/12/2025). Foto: Arina Zulfa Ul Haq/detikJateng
Solo -

Jaksa penuntut umum (JPU) mengungkap sederet pelobian atau perundingan yang melibatkan terdakwa eks Sekretaris Daerah (Sekda) Klaten di kasus korupsi pengelolaan Plaza Klaten dalam sidang di Pengadilan Tipikor Semarang kemarin.

Kasus ini juga menyeret Jajang Prihono, eks Sekda Klaten penerus Jaka Sawaldi. Duo mantan Sekda ini didakwa menerima uang dari Komisaris PT Matahari Makmur Sejahtera (MMS), Jap Ferry Sanjaya, yang menguasai Plaza Klaten tanpa proses lelang dan merugikan negara Rp 6,8 miliar.

Selain Jaka, Jajang, dan Ferry, masih ada satu terdakwa lagi dalam kasus ini yaitu Kabid Pengelola Pasar di Dinas Koperasi, Usaha Kecil Menengah dan Perdagangan (DKUKMP) Klaten, Didik Sudiarto.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dalam sidang perdana kemarin, Jaka dan Jajang duduk bersama di kursi pesakitan menyimak dakwaan yang dibacakan jaksa.

"Telah melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri terdakwa Ferry Rp 6,5 miliar, Didik Sudiarto sebesar Rp 62,5 juta, Jaka Sawaldi sebesar Rp 311 juta, atau suatu korporasi, yang merugikan keuangan Negara Cq Pemda Klaten sebesar Rp 6,8 miliar," kata jaksa Rudy, Kamis (4/12/2025).

ADVERTISEMENT

Jaksa menjelaskan dalam dakwaannya bahwa kasus ini bermula saat Ferry mengajukan penawaran pada Januari 2020 untuk mengelola Plaza Klaten, padahal Pemkab belum melakukan proses lelang sebagaimana diatur Permendagri 19/2016.

Ferry disebut mendapat izin lisan dari Kepala DKUKMP saat itu, Bambang, yang juga sempat menjadi terdakwa dalam kasus itu sebelum meninggal.

"Secara lisan Bambang menyetujui terdakwa mulai mengelola Plaza Klaten, kemudian terdakwa minta sebagian lokasi Plaza Klaten untuk kantor," ujar jaksa.

Jaksa menyebut Ferry langsung diberi dua kios dari terdakwa Didik untuk kantor PT Matahari Makmur Sejahtera, perusahaan yang baru didirikan pada 2020.

"Padahal, Pemkab Klaten belum melakukan pelelangan terbuka untuk pemilihan mitra," ucap jaksa.

"Terdakwa Ferry juga melakukan pertemuan dengan Jaka Sawaldi bertempat di Ruang kerja Sekda yang membicarakan penawaran Plaza Klaten yang diajukan terdakwa Ferry," sambungnya.

Pertemuan-pertemuan tersebut, juga termasuk yang digelar di sejumlah restoran di Klaten, dibiayai Ferry.

"Awal tahun 2021 saat Saksi Supriyanta menjadi Plt Kadis DKUKMP, dilakukan pertemuan bertempat di Rumah Makan Banyoe Oerip Resto Klaten, yang dihadiri pejabat Pemkab Klaten antara lain Jaka Sawaldi, Supriyanta, Didik Sudiarto, dan Joko Purnomo. Dalam pertemuan tersebut Ferry memberikan fasilitas makan dengan semua keperluan untuk pertemuan tersebut," ungkap jaksa.

Ferry juga mengajukan penawaran nilai sewa yang jauh lebih rendah dari hasil penilaian resmi Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) yang menetapkan sewa Plaza Klaten Rp 4,06 miliar per tahun.

Pada medio Juni 2021, Jaka menggelar pertemuan di Rumah Makan Merapi Resto pukul 20.00 WIB dengan Ferry, Didik, Jajang yang saat itu masih menjadi Inspektur, Sri Rahayu dari Bagian hukum, Himawan Purnomo selaku Kepala BPKD, serta Supriyanta Plt Kadis DKUKMP untuk membahas penawaran Ferry terkait pengelolaan Plaza Klaten.

"Dalam pertemuan tersebut terdakwa Ferry memberikan fasilitas makan malam dan uang kepada pejabat Pemkab Klaten yang hadir," ungkap jaksa.

Pada 2021, PT MMS beberapa kali mengajukan surat penawaran harga sewa dan masa waktu sewa gedung Plaza Klaten ke Bupati Klaten untuk jangka waktu 5 tahun mulai 2021-2025, dengan harga sewa yang lebih rendah.

Meski permohonan belum disetujui Bupati Klaten dan belum ada ikatan perjanjian dengan Pemkab Klaten, Ferry sudah menarik uang sewa.

"Terdakwa Ferry selama tahun 2020-2021 telah memungut uang sewa dari PT Matahari Department Store sebesar Rp 3 miliar dan service charge Rp 1,3 miliar, PT Matahari Putra Prima sebesar Rp 802 juta, serta PT Matahari Graha Fantasi sebesar Rp 423 juta dan service charge Rp 541 juta. Selanjutnya uang sewa tersebut dimasukkan ke dalam rekening PT Matahari Makmur Sejahtera," papar jaksa.

Selanjutnya, terdakwa Didik dan Ferry merekayasa surat tagihan dan bukti setoran. Didik membuat tagihan sewa kepada PT Matahari Department Store, PT Matahari Graha Fantasi, dan PT Matahari Putra Prima, tetapi surat tagihan dan surat tanda setoran diserahkan kepada Ferry.

"Kemudian terdakwa Ferry yang membayar ke kas umum Daerah Kabupaten Klaten yang jumlahnya lebih kecil dari uang sewa yang dipungut terdakwa Ferry," tutur jaksa.

Sisa uang sewa yang tidak disetorkan itu untuk keperluan pribadi Ferry, memfasilitasi pertemuan dengan pejabat Pemkab Klaten, dan diberikan ke tiga terdakwa lainnya yakni Didik, Jaka Sawaldi, Jajang Prihono. Pejabat Pemkab Klaten yang ikut pertemuan juga mendapat jatah.

"Padahal seharusnya seluruh uang sewa menjadi pendapatan daerah dan wajib disetor ke kas daerah Pemkab Klaten," kata jaksa.

Setelah itu, pada November kembali dilakukan pertemuan antara Ferry, Jaka Sawaldi, Jajang Prihono dan beberapa pejabat Pemkab Klaten. Tapi penawaran Ferry belum disetujui, kemudian Jaka dan Didik merekayasa ajuan tersebut.

"Penawaran Ferry tersebut belum dapat disetujui, kemudian Jaka selaku Sekda Klaten dan selaku Pengelola BMD, bersama Didik merekayasa dengan membuat ajuan kepada Bupati untuk menyetujui permohonan yang diajukan Ferry," ungkapnya.

Akhirnya Bupati Klaten menyetujui usulan itu. Didik menyiapkan Draf Perjanjian Kerjasama sewa Plaza Klaten antara Pemda yang diwakili oleh Jaka selaku Sekda Klaten dan Ferry atas nama PT MMS, padahal tidak pernah dilakukan proses pelelangan dan nilai sewa tersebut jauh di bawah penilaian KJPP yang sudah ditunjuk Pemkab Klaten.

Hal itu terus dilakukan Ferry dengan bantuan para terdakwa, meski tak ada kesepakatan dengan Pemkab Klaten. Pertemuan demi pertemuan soal penawaran juga dilakukan dengan para pejabat di Pemkab Klaten.

"Tahun 2020-2022 total uang sewa yang dipungut terdakwa Ferry secara tanpa hak seluruhnya Rp 7,9 miliar sedangkan yang disetor ke kas daerah Pemda Klaten hanya Rp 2,9 miliar. Selebihnya sebesar Rp 5 miliar digunakan untuk kepentingan pribadi terdakwa Ferry, dan keperluan pertemuan, dan dibagikan kepada pejabat Pemda Klaten," ungkap jaksa.

Memasuki 2023, jabatan Sekda berpindah ke Jajang Prihono. Jajang disebut bertemu Ferry pada awal Januari 2023. Pertemuan itu berujung penandatanganan perjanjian sewa Plaza Klaten antara Jajang dan Ferry pada 11 Januari 2023. Perjanjian itu juga dilakukan tanpa persetujuan Bupati dan tanpa proses lelang terbuka.

"Setelah Jajang dan Ferry menandatangani perjanjian sewa tanpa melalui proses lelang, Ferry memungut uang sewa Plaza Klaten sebesar Rp 3,1 miliar dan hanya disetor ke kas Pemda Klaten sebesar Rp 1,3 miliar," ujar jaksa.

Dalam dakwaan jaksa, nama Jaka Sawaldi muncul paling dominan dalam aliran dana. Jaka disebut menerima ratusan juta rupiah dari Ferry secara bertahap seiring pembahasan pengelolaan Plaza Klaten. Jajang dan Didik juga menerima uang dari Ferry dalam rangkaian pembahasan pengelolaan Plasa Klaten.

"Jaka Sawaldi selaku Sekda Rp 311 juta, Didik Sudiarto Kabid Pasar selaku Rp 62,5 juta, Jajang Prihono Rp 1 juta," ucap jaksa.

Selain para terdakwa, beberapa pejabat lain juga disebut menerima Rp 1 juta, termasuk Supriyanta, Sri Winoto, Fadjar Indriawan, Sri Rahayu, Tajudin Akbar, Himawan Purnomo, dan Sunarna.

Dalam kasus ini, kerugian negara berdasarkan perhitungan BPK mencapai Rp 6,88 miliar. Ketiga terdakwa yakni Jaka Sawaldi, Jajang Prihono, dan Didik Sudiarto, masing-masing dijerat pasal yang sama dengan Ferry yakni Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP serta Pasal 64 KUHP tentang perbuatan berlanjut.

Halaman 2 dari 2
(dil/ahr)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads