Dua mantan Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Klaten, Jaka Sawaldi dan Jajang Prihono menjalani sidang perdana kasus korupsi pengelolaan Plaza Klaten. Keduanya didakwa menerima aliran uang dari pengusaha Jap Ferry Sanjaya yang menguasai Plaza Klaten secara tanpa proses lelang, dan merugikan negara hingga Rp 6,8 miliar.
Terdapat empat terdakwa dalam kasus itu, yakni Jaka Sawaldi dan Jajang Prihono selaku Sekda, Didik Sudiarto selaku Kabid Pengelola Pasar DKUKMP, dan Ferry selaku Komisaris PT Matahari Makmur Sejahtera. Jaka tampak hadir mengenakan kemeja putih sementara Jajang mengenakan batik hijau.
Keduanya duduk bersama di kursi pesakitan, mendengarkan dakwaan yang dibacakan Jaksa Penuntut Umum di Pengadilan Tipikor, Kecamatan Semarang Barat, Kota Semarang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Telah melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri terdakwa Ferry Rp 6,5 miliar, Didik Sudiarto sebesar Rp 62,5 juta, Jaka Sawaldi sebesar Rp 311 juta, atau suatu korporasi, yang merugikan keuangan Negara Cq Pemda Klaten sebesar Rp 6,8 miliar," kata Jaksa Rudy di Pengadilan Tipikor, Kamis (4/12/2025).
Dalam dakwaan, jaksa memaparkan kasus itu bermula saat Ferry mengajukan penawaran pada Januari 2020 untuk mengelola Plaza Klaten, padahal Pemkab belum melakukan proses lelang sebagaimana diatur Permendagri 19/2016.
Ferry justru mendapat izin lisan dari Kepala DKUKMP saat itu, Bambang, yang juga sempat menjadi terdakwa dalam kasus itu sebelum meninggal dunia.
"Secara lisan Bambang menyetujui terdakwa mulai mengelola Plaza Klaten, kemudian terdakwa minta sebagian lokasi Plaza Klaten untuk kantor," ujarnya.
Ferry bahkan langsung diberi dua kios dari terdakwa Didik, sebagai kantor PT Matahari Makmur Sejahtera, perusahaan yang baru ia dirikan pada 2020.
"Padahal, Pemkab Klaten belum melakukan pelelangan terbuka untuk pemilihan mitra," kata jaksa.
Dakwaan menyebut Jaka Sawaldi yang menjabat Sekda kala itu beberapa kali menghadiri pertemuan bersama Ferry dan pejabat DKUKMP.
"Terdakwa Ferry juga melakukan pertemuan dengan Jaka Sawaldi bertempat di Ruang kerja Sekda yang membicarakan penawaran Plaza Klaten yang diajukan terdakwa Ferry," ujarnya.
Pertemuan-pertemuan tersebut, juga termasuk yang digelar di sejumlah restoran di Klaten, dan disebut dibiayai Ferry.
"Awal tahun 2021 saat Saksi Supriyanta menjadi Plt Kadis DKUKMP, dilakukan pertemuan bertempat di Rumah Makan Banyoe Oerip Resto Klaten, yang dihadiri pejabat Pemkab Klaten antara lain Jaka Sawaldi, Supriyanta, Didik Sudiarto, dan Joko Purnomo. Dalam pertemuan tersebut Ferry memberikan fasilitas makan dengan semua keperluan untuk pertemuan tersebut," kata Jaksa.
Pada saat yang sama, Ferry terus mengajukan penawaran nilai sewa yang jauh lebih rendah dari hasil penilaian resmi Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) yang menetapkan sewa Plaza Klaten sebesar Rp 4,06 miliar per tahun.
Pada pertengahan Juni 2021, Jaka juga menggelar pertemuan di Rumah Makan Merapi Resto pukul 20.00 WIB dengan Ferry, Didik, Jajang yang kala itu masih menjadi Inspektur, Sri Rahayu dari Bagian hukum, Himawan Purnomo selaku Kepala BPKD, serta Supriyanta Plt Kadis DKUKMP untuk membahas penawaran Ferry terkait pengelolaan Plaza Klaten.
"Dalam pertemuan tersebut terdakwa Ferry memberikan fasilitas makan malam dan uang kepada pejabat Pemkab Klaten yang hadir," ungkapnya.
Kemudian pada 2021, PT MMS berkali-kali mengajukan surat penawaran harga sewa dan masa waktu sewa gedung Plaza Klaten kepada Bupati Klaten untuk jangka waktu 5 tahun mulai 2021-2025, dengan harga sewa yang lebih rendah. Meski permohonan belum disetujui Bupati dan belum ada ikatan perjanjian dengan Pemkab Klaten, Ferry sudah menarik uang sewa.
"Terdakwa Ferry selama tahun 2020-2021 telah memungut uang sewa dari PT Matahari Department Store sebesar Rp 3 miliar dan service charge Rp 1,3 miliar, PT Matahari Putra Prima sebesar Rp 802 juta, serta PT Matahari Graha Fantasi sebesar Rp 423 juta dan service charge Rp 541 juta. Selanjutnya uang sewa tersebut dimasukkan ke dalam rekening PT Matahari Makmur Sejahtera," urainya.
Kemudian, Terdakwa Didik dan Ferry merekayasa surat tagihan dan bukti setoran. Didik membuat tagihan sewa kepada PT Matahari Department Store, PT Matahari Graha Fantasi, dan PT Matahari Putra Prima, tetapi surat tagihan dan surat tanda setoran diserahkan kepada Ferry.
"Kemudian terdakwa Ferry yang membayar ke kas umum Daerah Kabupaten Klaten yang jumlahnya lebih kecil dari uang sewa yang dipungut terdakwa Ferry," tuturnya.
Sisa uang sewa yang tidak disetorkan digunakan untuk keperluan pribadi Ferry, memfasilitasi pertemuan dengan pejabat Pemkab Klaten, dan diberikan tiga terdakwa lainnya yakni Didik, Jaka Sawaldi, Jajang Prihono. Pejabat Pemkab Klaten yang ikut pertemuan juga mendapat uang tersebut.
"Padahal seharusnya seluruh uang sewa menjadi pendapatan daerah dan wajib disetor ke kas daerah Pemkab Klaten," tuturnya.
Setelah itu, pada November kembali dilakukan pertemuan antara Ferry, Jaka Sawaldi, Jajang Prihono dan beberapa pejabat Pemkab Klaten. Namun penawaran Ferry belum bisa disetujui hingga akhirnya Jaka dan Didik merekayasa ajuan tersebut.
"Penawaran Ferry tersebut belum dapat disetujui, kemudian Jaka selaku Sekda Klaten dan selaku Pengelola BMD, bersama Didik merekayasa dengan membuat ajuan kepada Bupati untuk menyetujui permohonan yang diajukan Ferry," ungkapnya.
Akhirnya, Bupati Klaten menyetujui usulan itu. Didik menyiapkan Draf Perjanjian Kerjasama sewa Plaza Klaten antara Pemda yang diwakili oleh Jaka selaku Sekda Klaten dan Ferry atas nama PT MMS, padahal tidak pernah dilakukan proses pelelangan dan nilai sewa tersebut jauh di bawah penilaian KJPP yang sudah ditunjuk Pemkab Klaten.
Hal itu terus dilakukan Ferry meski tak ada kesepakatan dengan Pemkab Klaten, dengan bantuan para terdakwa. Pertemuan demi pertemuan soal penawaran juga dilakukan dengan para pejabat di Pemkab Klaten.
"Tahun 2020-2022 total uang sewa yang dipungut terdakwa Ferry secara tanpa hak seluruhnya Rp 7,9 miliar sedangkan yang disetor ke kas daerah Pemda Klaten hanya Rp 2,9 miliar. Selebihnya sebesar Rp 5 miliar digunakan untuk kepentingan pribadi terdakwa Ferry, dan keperluan pertemuan, dan dibagikan kepada pejabat Pemda Klaten," urainya.
Memasuki 2023, tongkat jabatan Sekda telah berpindah ke Jajang Prihono. Dalam dakwaan, Jajang disebut bertemu Ferry pada awal Januari 2023. Pertemuan itu berujung penandatanganan perjanjian sewa Plaza Klaten antara Jajang dan Ferry pada 11 Januari 2023. Namun perjanjian tersebut juga dilakukan tanpa persetujuan Bupati dan tanpa proses lelang terbuka.
"Setelah Jajang dan Ferry menandatangani perjanjian sewa tanpa melalui proses lelang, Ferry memungut uang sewa Plaza Klaten sebesar Rp 3,1 miliar dan hanya disetor ke kas Pemda Klaten sebesar Rp 1,3 miliar," paparnya.
Nama Jaka Sawaldi muncul paling dominan dalam aliran dana, karena menerima ratusan juta dari Ferry yang dilakukan secara bertahap seiring pembahasan pengelolaan Plaza Klaten. Jajang dan Didik juga menerima uang dari Ferry dalam rangkaian pembahasan pengelolaan Plasa Klaten.
"Jaka Sawaldi selaku Sekda Rp 311 juta, Didik Sudiarto Kabid Pasar selaku Rp 62,5 juta, Jajang Prihono Rp 1 juta," urainya.
Selain para terdakwa, beberapa pejabat lain disebut menerima Rp 1 juta, termasuk Supriyanta, Sri Winoto, Fadjar Indriawan, Sri Rahayu, Tajudin Akbar, Himawan Purnomo, dan Sunarna.
Akibat rangkaian tindakan itu, kerugian negara berdasarkan perhitungan BPK mencapai Rp 6,88 miliar. Ketiga terdakwa, yakni Jaka Sawaldi, Jajang Prihono, dan Didik Sudiarto, masing-masing dijerat pasal yang sama dengan Ferry yakni Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP serta Pasal 64 KUHP tentang perbuatan berlanjut.
Simak Video "Video Geger 4 Bocah Dirantai di Boyolali, Dititipkan ke Tersangka untuk Ngaji"
[Gambas:Video 20detik]
(aap/afn)











































