Komisaris PT MMS Didakwa Tilap Uang Sewa Plaza Klaten Rp 6,5 Miliar

Komisaris PT MMS Didakwa Tilap Uang Sewa Plaza Klaten Rp 6,5 Miliar

Arina Zulfa Ul Haq - detikJateng
Kamis, 04 Des 2025 18:11 WIB
Komisaris PT MMS Didakwa Tilap Uang Sewa Plaza Klaten Rp 6,5 Miliar
Sidang perdana Komisaris PT Matahari Makmur Sejahtera (MMS), Jap Ferry Sanjaya dalam kasus korupsi Plaza Klaten, di Pengadilan Tipikor Semarang, Kamis (4/12/2025). (Foto: Arina Zulfa Ul Haq/detikJateng)
Semarang -

Komisaris PT Matahari Makmur Sejahtera (MMS), Jap Ferry Sanjaya didakwa melakukan korupsi dalam proyek Plaza Klaten. Ia didakwa mengambil uang dari pengelolaan Plaza Klaten secara ilegal sebesar Rp 6,5 miliar.

Jap Ferry Sanjaya menjalani sidang perdana korupsi di Pengadilan Tipikor Semarang, Kecamatan Semarang Barat, Kota Semarang. Dakwaan dibacakan Jaksa Penuntut Umum (JPU), Aderena.

"Telah melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri terdakwa Jap Ferry Sanjaya sebesar Rp 6,5 miliar," kata Aderena di Pengadilan Tipikor Semarang, Kamis (4/12/2025).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Mulanya, pada 9 Januari 2020 Ferry yang merupakan Direktur PT Matahari Mas Sejahtera disebut mengirim penawaran kepada Bupati Klaten saat itu yakni Sri Mulyani, melalui Kepala DKUKMP Bambang Sigit Nugroho, untuk mengelola Plaza Klaten Januari 2020.

Padahal, belum ada proses lelang sebagaimana diatur Permendagri 19/2016 yang mensyaratkan minimal ada tiga peserta dan pelelangan yang dilakukan terbuka.

ADVERTISEMENT

"Kemudian terdakwa melakukan pertemuan dengan Bambang selaku Kadis DKUKMP Kabupaten Klaten, dan meminta supaya terdakwa yang mengelola Plaza Klaten," jelasnya.

Ferry juga mendirikan perusahaan sendiri bernama PT Matahari Makmur Sejahtera dan mengubah surat penawaran dari PT Matahari Mas Sejahtera ke perusahaan yang baru didirikannya itu.

Kemudian pada 29 Mei 2020, Eks Bupati Sri Mulyani menugaskan Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) menilai besaran sewa Plaza Klaten. Hasilnya, sewa ditetapkan Rp 4,06 miliar per tahun dan naik 2,68 persen per tahunnya.

Pada bulan Juli 2020, Ferry kembali menggelar pertemuan dengan Bambang dan Kabid Pengelolaan Pasar, Didik Sudiarto hingga akhirnya mendapat lampu hijau untuk mengelola Plaza Klaten bersama Matahari Group.

"Secara lisan Bambang menyetujui terdakwa mulai mengelola Plaza Klaten, kemudian terdakwa minta sebagian lokasi Plaza Klaten untuk kantor," ujarnya.

Tak lama kemudian, Ferry mendapat dua kios di Plaza Klaten untuk dijadikan kantor PT MMS dari Didik yang juga menjadi terdakwa dalam kasus tersebut.

"Padahal, Pemkab Klaten belum melakukan pelelangan terbuka untuk pemilihan mitra," kata jaksa.

Meski dibentuk panitia pemulihan mitra pada 14 Desember 2020, panitia tidak melaksanakan tugasnya dengan dalih tak ada anggaran. Ferry yang belum mengantongi kontrak pun sudah langsung menawarkan ruang Plaza Klaten ke PT Matahari Department Store (MDS), PT Matahari Putra Prima (MPP), dan PT Matahari Graha Fantasi (MGF).

"Dan disetujui oleh saksi Heru Wahyudiantor selaku GM Developer Relation PT MDS dengan sewa Rp 42.500 per meter persegi per bulan, dan service charge Rp 17.500 per meter persegi per bulan. Padahal terdakwa tidak ada ikatan perjanjian sewa atau pengelolaan Plaza Klaten," jelasnya.

Pasa awal 2021, digelar pertemuan antara Ferry dengan pejabat seperti Sekda Jaka Sawaldi, Inspektur Jajang Prihono, Plt Kadis Supriyanta, dan lainnya di RM Banyoe Oerip dan RM Merapi Resto yang membahas penawaran Ferry. Ferry pun membayar seluruh biaya makan dan pertemuan tersebut.

Pada 2021, PT MMS berkali-kali mengajukan surat penawaran harga sewa dan masa waktu sewa gedung Plaza Klaten kepada Bupati Klaten untuk jangka waktu 5 tahun mulai 2021-2025, dengan harga sewa yang lebih rendah.

Permohonan tersebut belum disetujui Bupati dan belum ada ikatan perjanjian dengan Pemkab Klaten, tetapi terdakwa sudah melakukan pengelolaan Plaza Klaten dengan menarik uang sewa kepada Matahari Group.

"Terdakwa Ferry selama tahun 2020 Juni 2021 telah memungut uang sewa dari PT Matahari Department Store sebesar Rp 3 miliar dan service charge Rp 1,3 miliar, PT Matahari Putra Prima sebesar Rp 802 juta, serta PT Matahari Graha Fantasi sebesar Rp 423 juta dan service charge Rp 541 juta. Selanjutnya uang sewa tersebut dimasukkan ke dalam rekening PT Matahari Makmur Sejahtera," urainya.

Kemudian, Terdakwa Didik dan Ferry merekayasa surat tagihan dan bukti setoran. Didik membuat tagihan sewa kepada PT Matahari Department Store, PT Matahari Graha Fantasi, dan PT Matahari Putra Prima, tetapi surat tagihan dan surat tanda setoran diserahkan kepada Ferry.

"Kemudian terdakwa Ferry yang membayar ke kas umum Daerah Kabupaten Klaten yang jumlahnya lebih kecil dari uang sewa yang dipungut terdakwa Ferry," tuturnya.

Sisa uang sewa yang tidak disetorkan digunakan untuk keperluan pribadi Ferry, memfasilitasi pertemuan dengan pejabat Pemkab Klaten, dan diberikan tiga terdakwa lainnya yakni Didik, Jaka Sawaldi, Jajang Prihono. Pejabat Pemkab Klaten yang ikut pertemuan juga mendapat uang tersebut.

"Padahal seharusnya seluruh uang sewa menjadi pendapatan daerah dan wajib disetor ke kas daerah Pemkab Klaten," tuturnya.

Hal itu terus dilakukan Ferry meski tak ada kesepakatan dengan Pemkab Klaten, dengan bantuan para terdakwa. Pertemuan demi pertemuan soal penawaran juga dilakukan dengan para pejabat di Pemkab Klaten.

"Tahun 2020-2022 total uang sewa yang dipungut terdakwa Ferry secara tanpa hak seluruhnya Rp 7,9 miliar sedangkan yang disetor ke kas daerah Pemda Klaten hanya Rp 2,9 miliar. Selebihnya sebesar Rp 5 miliar digunakan untuk kepentingan pribadi terdakwa Ferry, dan keperluan pertemuan, dan dibagikan kepada pejabat Pemda Klaten," urainya.

Pada 2023, setelah akhirnya ada perjanjian sewa yang juga disebut melanggar aturan karena tidak melalui lelang. Perjanjian sewa itu ditandatangani terdakwa Jajang Prihono yang kala itu sudah menjabat sebagai Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Klaten.

"Setelah Jajang dan Ferry menandatangani perjanjian sewa tanpa melalui proses lelang, Ferry memungut uang sewa Plaza Klaten sebesar Rp 3,1 miliar dan hanya disetor ke kas Pemda Klaten sebesar Rp 1,3 miliar," paparnya.

Jaksa juga merinci, sejumlah penerima uang dari pengelolaan ilegal Plaza Klaten yang dilakukan Ferry.

"Jaka Sawaldi selaku Sekda Rp 311 juta, Didik Sudiarto Kabid Pasar selaku Rp 62,5 juta, pejabat lain Jajang Prihono, Supriyanta, Sri Winoto, Fadjar Indriawan, Sri Rahayu, Tajudin Akbar, Himawan Purnomo, dan Sunarna masing-masing Rp 1 juta," urainya.

Atas perbuatannya, Ferry didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor subsidair Pasal 3 UU Tipikor Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo Pasal 64 KUHP.

Atas dakwaan tersebut, kuasa hukum Ferry, Otto Cornelis Kaligis langsung mengajukan eksepsi yang dibacakan hari ini juga. Ia mempertanyakan Eks Bupati Klaten Sri Mulyani yang juga memberikan persetujuan.

"Yang paling penting menjadi pertanyaan bagi saya, ini kan direstui, disetujui, ada tanda tangan dari Bupati Sri Mulyani. Kebal hukum kali ya, ampai enggak dijadikan terdakwa," kata OC Kaligis usai sidang.

Menurutnya, kliennya itu telah dikriminalisasi karena Eks Bupati Klaten pun tak pernah melaporkan Ferry selama ini.

"Mereka yang punya pengadaan barang dan jasa ada di pihak Bapenda kan? Bukan di pihak kita. Itu yang paling penting. Kenapa sekarang kita yang dipersalahkan? Makanya saya katakan kriminalisasi," ujarnya.




(aap/afn)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads